15 November 2013

#5BukuDalamHidupku “Tulislah Tentang Kami, Agar Kami Tak Hilang Sia-sia!”

Foto di sampul depan: tahanan politik di Buru sedang bersawah. Foto di sampul belakang: perjumpaan Pram dengan istri, pertama setelah 14 tahun, 21 Desember 1979. (Sumber: haryolawe.blogspot.com)

Judul                : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I
Pengarang      : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit          : Lentera
Tahun terbit : 1995

MESKI benci untuk mengakuinya, saya sendiri adalah bagian dari demam Pram. Tapi keadaan memang memungkinkan/memaksakan begitu. Karya-karya Pram baru saya temui saat kuliah, ketika teman-teman juga membacai Pram. Waktu SMA atau sebelum-sebelumnya, blas, melintas pun tak pernah nama itu.

Direkomendasikan teman, yang pertama dari Pram saya baca adalah tetralogi Buru (saya hapal urutannya: Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca). Buku-buku itu bagus, terutama Jejak Langkah dan Rumah Kaca (saya paling suka Jejak Langkah).

Ketika bacaan sudah mulai melebar, saya baca karya nonfiksi Pram seperti Panggil Aku Kartini Saja (astaga, dulu saya pernah debat dengan orang yang berkeras kalau Panggil Aku Kartini Saja itu novel. Benar-benar tak habis pikir!). Tahun lalu, saya menemukan Hoakiau di Indonesia yang belum dicetak penerbit besar sehingga langka. Dan terakhir, buku yang dikata otobiografi Pram: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I dan II.

Pram lebih mengagumkan dalam karya nonfiksinya. Di Panggil Aku Kartini Saja—biografi Kartini—ia tak hanya meneliti setumpuk pustaka, tapi juga pergi ke Jepara mengumpulkan keterangan. Dan mungkin karena ia juga seorang sastrawan, cerita Kartini tidak hanya cerita, tapi juga mau membentuk citra Kartini. Itulah mengapa penolakan Kartini pada feodalisme ia tonjolkan bulat-bulat dalam judulnya, “Panggil aku Kartini saja.”

Di Hoakiau di Indonesia, jujur, saya ternganga. Pram cuma lulus sekolah dasar (yang dihabiskannya selama 10 tahun, kalau tak salah, karena pernah tak naik kelas). Waktu melanjutkan ke sekolah radio di Surabaya, perang pecah sehingga tak tuntas. Ia mengaku pernah kursus filsafat dan sempat akan kuliah di Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia, namun urung karena banyak dosen yang menolak karena segan mengajar Pram.

Dengan bekal ilmu yang dengan tak banyak ditempuh secara formal, ia bisa menyusun buku dengan argumen runtut dan bukti tak terbantahkan. Membaca Hoakiau sebenarnya juga belajar menyusun argumen.

Panggil Aku Kartini Saja dan Hoakiau di Indonesia adalah bukti bahwa mengglorifikasi Pram semata lewat karya fiksinya saja adalah berlebihan. Oke, Bukan Pasarmalam itu bagus. Tapi bukan satu-satunya. Sementara, Kartini dan Hoakiau adalah kombinasi antara bekal data yang tangguh dan gaya menulis khas Pram. Kombinasi yang tak ada duanya. Dan sayangnya, kedua buku ini tak sepopuler karya fiksi Pram.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu bahkan lebih tak populer lagi. Bisa jadi karena susah mencarinya. Punya saya sendiri hasil fotokopi.

Menyukai Pram tanpa membaca buku ini berarti larut dalam demam Pram dan omong besar. Dari buku inilah kita sadar, sebenarnya tolol jika menerima mentah-mentah fakta bahwa Pram bisa menyelesaikan tetralogi dan Arus Balik di kamp penjara macam Buru. Di instalasi rehabilitasi (bahasa Orba untuk pengasingan) Buru, semua tahanan harus bekerja dari nol untuk membangun penjaranya sendiri. Dari bangunan sampai jalan, mereka yang bikin. Plus harus bisa mengolah hutan jadi sawah agar tak terus menerus makan cicak hidup-hidup. Itu masih ditambah beternak, menggergaji kayu di hutan, dan apel rutin. Bagaimana Pram bisa punya waktu untuk menulis?

Pram adalah bagian dari pekerja itu. Namun kemudian, ia diistimewakan oleh teman-temannya karena pengarang. Pram diusahakan punya kamar sendiri, sementara yang lain tidak. Pram menulis, sementara yang lain bekerja. Tugas Pram digantikan kawan-kawannya bergotong royong. Pokoknya: kalau tak ada kawan-kawan yang mengusahan privilese untuk Pram, mustahil kita bisa mendaku punya pengarang yang berkali-kali jadi nomine Nobel Sastra.

Tapi, mengapa kawan-kawan Pram mau melakukan itu semua? Untuk apa bersusah-susah menggantikan kerjaan seorang pengarang, sementara pengarang itu toh nantinya mendapat kemahsyuran untuk dirinya seorang?

Di titik ini, kita harus memahami perasaan menjadi seorang yang dibuang. Tak ada keadilan, tak ada kebebasan, tak ada keluarga, tak ada masa depan, tak ada harga diri. Maut mengintai setiap saat.

Untuk orang yang tak yakin dengan masa depan, ia akan lari ke masa lalu. Dengan, misalnya, meyakini bahwa ia masih ada dalam kenangan orang-orang. Sehingga ketika ia tiada, sesungguhnya ia masih “ada”. Dengan begitu, hidupnya bukanlah kesia-siaan.

Itulah yang kawan-kawan Pram rasakan. Ketika mendengar Pram akan dibebaskan, mereka berkata, “Tulislah tentang kami, agar bagian dari hidup kami yang paling vital dan terserap habis ini jangan hilang sia-sia seperti Tanah Merah dan Digul, Banda, Endeh dan Bengkulu, Sailan dan Afrika Selatan.”

Buku ini adalah karya Pram yang paling menyentuh. Berupa kumpulan tulisan, ada surat untuk anaknya yang tak pernah terkirimkan, ada catatan tentang kawan-kawan yang sudah meninggal, cerita kunjungan orang-orang Jakarta yang menebar janji semata. Saya menangis ketika sampai di “Pembebasan Pertama”. Ceritanya, di tahun 1977, datang kabar bahwa tahanan Buru akan dibebaskan bertahap. Termasuk dalam gelombang pertama yang dibebaskan adalah Pram. Segera saja teman-temannya memberi selamat.

Di antara yang memberi selamat, ada seorang pemuda jangkung. Ia datang ke kamar Pram tanpa kata-kata. Lalu ia serahkan bungkusan plastik berisi 10 meter tali plastik, sepasang kaus kaki nilon, sabun, odol, dan susu kaleng, kemudian pergi. Seorang kawan lain menaruh enam telur bebek—makanan mewah—di kamar, juga tanpa berbicara.

Habis membaca buku ini, saya merasa menjadi bagian dari demam Pram adalah hal yang menjijikkan. Untuk apa kutip-mengutip bukunya, kalau tak bisa memahami bagaimana ia menuliskannya, bagaimana kawan-kawannya kerja setengah mati, bagaimana mereka menjalani hari sementara satu per satu dari mereka mati. Jangan-jangan, sebenarnya hingga hari suara Pram belum lagi kita dengar. Apa yang ia tulis masihlah… nyanyi sunyi seorang bisu. Sebab kita tak kunjung paham.[]

6 komentar:

  1. Kalo nggak salah di pengantar atau penutup Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ada tulisan yang menjelaskan, dalam memahami tulisan seseorang ada dua cara, yakni membaca karyanya saja dan menelusuri kehidupan si penulis yang membuat penulis mempunyai alur berpikir seperti di dalam tulisannya.

    Di tulisanmu ini kamu seolah-olah menyepelekan orang-orang yang mencoba menghargai tulisan berdasarkan tulisan itu sendiri. Padahal nggak salah kan?

    BalasHapus
  2. Di buku yang aku pegang, gak ada kalimat begitu di pengantar. Pun gak ada penutup.

    Di kalimat pertama kamu bilang soal cara memahami tulisan, tapi di bagian pertanyaan kamu tanya soal cara menghargai tulisan. Itu dua hal yang berbeda.

    Aku gak menyepelekan orang yang menghargai karya (fiksi) Pram. Aku menyesalkan glorifikasi berlebihan atas karya fiksinya. Itu yang kusebut demam Pram. Kenapa aku bilang glorifikasi berlebihan? Karena aku menemukan banyak kasus di mana Pram selesai pada bacaan saja, tidak ada kritik atau penerusan metode. Pram mengaku, karya fiksi yang ia susun di Buru banyak kelemahan karena tak ada akses ke dokumen yg diperlukan. Tapi, sekarang lihat, adakah kritik validitas karya Pram? Adakah yang berusaha menemukan kelemahan dlm karya-karyanya? Adakah yang pernah berusaha menyelidiki, mengapa Idrus bisa bilang Pram menulis seperti berak? Tidak ada. Dan itu menyedihkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Aku juga kadang geli sih soal fanboy Pram ini. Apalagi mereka yang merasa keren hanya dengan mengutip satu-dua kalimat di novelnya Pram. Kaya aku dulu. Hahahaha.

      Mungkin ketika orang hendak mengkritik Pram, mereka terkena sindrom inferior? Merasa kecil di hadapan Pram yang begitu besar. Dan ngomong-ngomong Idrus komen ke Pram gitu bukannya karena Pram nulis terlalu banyak? Yang Pram sendiri mengakui bahwa dia terpaksa menulis begitu banyak (layaknya orang berak; setiap hari) dan kurang mempertimbangkan mutu tulisan karena dia sangat kekurangan uang?

      Hapus
  3. Kamu baca di mana? Aku sndiri kurang tahu soal fakta itu. Ya, brrti semua gak ada yg perlu kita perdebatkan lagi, kan? Hahaha. Kau ini, kapan mau nulis serius?

    BalasHapus
  4. gita gak bakal nulis serius kayaknya. Kalo gita nulis serius brarti dia udah gak galau yang sepertinya mustahil. Soalnya saya denger sendiri pengakuannya kalo "kesedihan" itu nama tengah sebenarnya mas gita. :3
    Btw, saya jadi berniat buat baca bukunya pram juga setelah baca tulisan yg ini. Karena sebelumnya cuma dijejelin quote-quote nya tok yang biasa saya temuin di tulisannya gita dan temen-temen yang lain. Kalo boleh minta saran, judul buku pram yang mana yang cocok buat saya yg belum pernah sekalipun baca tulisannya "si pendendam yang elegan" itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, parah nih, dia. Nanti melayani wajib pajak dengan muka sedih, bisa masuk pelanggaran SOP gak? Hahaha. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Fan. Bagus untuk memulai. Dari situ kita bisa kritis sama karya-karya fiksi yang dia tulis di Buru. Habis itu baca "Panggil Aku Kartini Saja". Tempo aja lewaaat! *denger-denger, buku Panggil Aku Kartini saja itu dibiayai Lekra. Isu Kartini emang gencar diusung sama Gerwani juga.

      Hapus