22 Juli 2014

Apa dan Mengapa Media Kooperasi

Catatan: tulisan ini dibuat untuk Kolom Media Literasi.co edisi pertama, Juli 2014. Media ini belum selesai pembangunan situs webnya. 

Oleh Prima S. W.

Juli ini, edisi perdana media kooperasi Literasi.co yang dikelola Gerakan Literasi Indonesia dirilis. Dari sekian banyak portal berita daring yang terus bertumbuhan tiap hari, apa yang membuat kami berbeda? Mengapa kami perlu ada?

KOPERASI adalah diksi yang populer, tapi bukan tema pembicaraan yang familier. Asosiasinya cenderung terperangkap ke citra toko kelontong milik bersama atau lembaga simpan-pinjam. Ia, bagi para awam, tidak pernah dibayangkan sebagai gerakan.

Itulah salah satu kesulitan, sekaligus tantangan yang menarik untuk memperkenalkan media kooperasi ke khalayak. Apakah ia media yang dikelola sebuah koperasi?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, justru ada hal lebih penting untuk diurai: mengapa kooperasi? Iya, kooperasi, dengan dua “o”.

Sebab koperasi telah terperangkap pada citra toko kelontong atau lembaga simpan-pinjam, bukan gerakan yang mencoba menyelesaikan masalah-masalah besar di luar konteks ekonomi. Koperasi dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) adalah “perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga murah (tidak bermaksud mencari untung)”—citra kita tak salah rupanya.

Tapi itu bukan citra yang tepat untuk kooperasi dengan dua “o”; kooperasi yang tidak kehilangan semangat gerakannya. Dengan kelebihan satu “o”, ia justru bisa jadi bentuk yang lain, yang punya daya yang lebih kuat, lebih leluasa, dan partisipatif.

Frasa kooperasi diambil dari Menindjau Masalah Kooperasi (1954) karya Mohammad Hatta, salah satu buku yang dikaji semasa penggodokan ide kooperasi di forum diskusi Gerakan Literasi Indonesia (GLI). Artinya ‘kerja sama’. Frasa ini dipilih secara sadar oleh GLI (Batubara, 2013) dengan alasan:

Pertama, dalam konteks Orde Baru, lembaga-lembaga koperasi sudah dikendalikan oleh rezim birokratis-militeristis-otoriter yang membuatnya bukan lagi pelayan kepentingan anggotanya, melainkan lembaga ekonomi yang koruptif sekaligus mesin ideologisasi negara Orde Baru.

Kedua, setelah Reformasi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian mengerdilkan fungsi koperasi hanya sebagai lembaga ekonomi, dengan tiga pilihan bentuk: koperasi produsen, koperasi konsumen jasa, dan koperasi simpan-pinjam. Pendefinisian ini menghilangkan semangat gerakan yang juga ruh dari koperasi. Sekali lagi ditekankan: koperasi memiliki semangat gerakan. D. N. Aidit dalam Peranan Koperasi Dewasa Ini (1963) bahkan membayangkan koperasi sebagai alat perjuangan kelas.

Pergulatan konsep media kooperasi ini dimulai sejak medio 2013. Ketika tulisan ini dibuat, datang kabar baik. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan atas UU Perkoperasian tersebut pada 28 Mei 2014 dan membatalkan kekuatan hukum UU No. 17 Tahun 2012 karena bertentangan dengan UUD 1945.

Salah satu hakim anggota, Maria Farida Indrati, mengatakan, undang-undang itu mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial serta mengesampingkan modal sosial sebagai ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945. Koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas dan kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong royong (antaranews.com, 28 Mei 2014).

Kabar baik itu memang masih dengung dari langit, belum turun ke bumi. Kita masih harus menunggu hingga DPR membuat UU pengganti. Selama penantian itu, UU lama ini tetap berlaku. Namun, keputusan MK tersebut menjadi sinyal penting untuk mengembalikan kooperasi kepada salah satunya khitahnya, yakni sebagai gerakan.

Di sinilah media kooperasi dimaksudkan. Ia diadakan untuk mengejawantahkan khitah kooperasi sebagai gerakan. Nama “kooperasi” dibangkitkan kembali untuk menjadi konsep pilih tanding bagi konsep koperasi dengan kelemahan-kelemahannya di atas, tanpa bermaksud mengecilkan peran dan eksistensi koperasi bagus dan progresif yang telah dan saat ini hidup. Dengan media kooperasi, sebagai salah satu praksisnya, kita akan belajar mengenal kooperasi sebagai gerakan.

Apa itu media kooperasi?

Media kooperasi, sederhananya, adalah media yang dikelola secara kooperatif. Dalam hal pendanaan, kooperatif berarti ada sekumpulan orang banyak yang membiayai dan menjadi pemiliknya. Istilah media kooperasi dipilih, alih-alih kooperasi media, karena istilah yang kedua memungkinkan diasosiasikan dengan sekumpulan media yang bergabung menjadi kooperasi. Keduanya tepat, tetapi media kooperasi lebih cocok.

Ide tentang media yang dikelola dengan prinsip kooperasi bukan sesuatu yang baru. Sejumlah nama media yang berbentuk kooperasi adalah: Associated Press yang dimiliki bersama oleh 1500 surat kabar harian di Amerika Serikat; Co-operative News di Inggris; Exelcior di Meksiko, menjadi kooperasi sejak berdiri pada 1917 hingga 2004; Le Monde di Prancis, sejak berdiri pada 1944 hingga 2010 berbentuk kooperasi; Die Tageszeitung di Jerman, menjadi kooperasi sejak Juni 1992 hingga saat ini; Il Manifesto di Italia; dan Media Co-op di Kanada.

Media kooperasi juga sudah ada di Indonesia. Dalam diskusi buku Media Kooperasi & Kooperasi Media, 19 Mei lalu, Muhidin M. Dahlan, pengarsip, mengatakan, Harian Rakjat dan Trubus adalah media dengan pembiayaan bersama. Harian Rakjat dibiayai dari iuran semua anggota Partai Komunis Indonesia.

Konsep media kooperasi menjadi sangat relevan hari ini karena dua krisis yang tengah dihadapi media cetak konvensional (Boyle, 2013: 1-5). Krisis pertama adalah tiras yang terus turun seiring datangnya era internet. Sementara krisis kedua adalah lunturnya kepercayaan pada media karena akumulasi kepemilikan di segelintir orang. Pendapat Boyle ini bertolak dari berbagai kasus matinya media lokal di Inggris.

Di Indonesia, media kooperasi diusung untuk menjawab persoalan konglomerasi media. Kemunculan fenomena konglomerasi media atau kepemilikan jaringan media oleh segelintir konglomerat di Indonesia berakar pada pemberlakukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di masa Orde Baru. SIUPP menjadi kunci utama perkembangan pasar media di Indonesia (Utomo, 2013).

Industri media berkembang sejak akhir 1980-an dan menjadi sangat pesat sejak Reformasi (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012). Hari ini, sebagian besar informasi yang dikonsumsi 240 juta penduduk Indonesia disuplai oleh 12 kerajaan media. Angka paling mencolok ada pada Jawa Pos Group yang memiliki 20 stasiun televisi dan 171 media cetak, serta Kelompok Kompas Gramedia dengan 10 stasiun televisi dan 88 media cetak.

Tabel. Grup media di Indonesia, jumlah media, sebaran bisnis, dan pemiliknya. (Sumber: Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012; Lim, 2012)



(Klik kanan, open link in new tab, untuk melihat gambar.)

Dominasi grup-grup media tersebut bisa dimaklumi sebagai bentuk divergensi bisnis belaka. Dalam bisnis, pengusaha didorong untuk senantiasa mengembangkan usahanya untuk menjadi besar dan divergen. Namun, dalam bisnis media (massa), bisnis tidak bisa dihitung semata-mata bisnis. Ia juga mengemban tugas pelayanan sosial. Apalagi bila dikaitkan dengan pers sebagai pilar keempat demokrasi.

Konglomerasi media berdampak buruk bagi iklim demokrasi. Setidaknya, ada lima dampak buruk dari konglomerasi media (Buku Putih Media Kooperasi Literasi.co, 2014, tidak dipublikasikan), yakni: : (1) pemberitaan tidak beragam; (2) terabaikannya agenda publik, berganti agenda yang dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal dan selera pasar; (3) masyarakat hanya berfungsi sebagai konsumen media, tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan isi media; (4) merosotnya mutu jurnalisme karena otonomi redaksi dicampuri dengan kepentingan pemilik modal. Sebagian besar berita yang muncul setiap hari adalah berita yang mendukung kepentingan modal sekaligus melanggengkan kepentingan bisnis media itu sendiri; dan (5) minimnya kebebasan berserikat bagi pekerja media karena pemilik media takut faktor produksinya direbut oleh serikat pekerja media.

Poin nomor 1 hingga 4 kita dapati dengan mudah di hari-hari menjelang pemilihan presiden. Sementara poin kelima digambarkan dengan baik dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi. Bertolak dari lima hal tersebut, keberagaman kepemilikan (tidak dominatif oleh segelintir orang) dan keberagaman isi (tidak hanya menyorot isu nasional ataupun jakartasentris) adalah tantangan bagi media di Indonesia hari ini. Bagaimana menjawab tantangan ini?

Jelas, diperlukan media alternatif. Namun, yang seperti apa? Sejauh yang bisa diidentifikasi, ada dua model yang sudah coba dijalankan: jurnalisme warga dan media komunitas. Namun, terlepas dari potensi dan manfaat keduanya yang sudah bisa dinikmati hari ini, keduanya rupanya belum mampu menjawab dua tantangan di atas.

Beberapa tahun terakhir, media massa arus utama membuka rubrik maupun program jurnalisme warga. Namun, seleksi dan kontrol isi tetap berada di tangan pengelola media. Warga hanya diberi ruang untuk memproduksi karya jurnalistik. Hal ini misalnya, terlihat dari kasus tulisan akun anonim Jilbab Hitam di Kompasiana (milik Kompas), November tahun lalu. Tulisan berjudul “Tempo Dan Kata Data Memeras Bank Mandiri Dalam Kasus SKK Migas”, diunggah pada 11 November pagi,  ini langsung mengundang respons ramai di jejaring sosial, terutama Twitter. Malam itu juga, tulisan itu dicabut dari Kompasiana oleh pengelolanya, Pepih Nugraha, karena isinya yang provokatif melanggar aturan Kompasiana.

Sementara itu, media warga lainnya seperti jejaring sosial dan blog yang dikelola pribadi tetap tidak bisa diharapkan mampu menyebarkan informasi seluas yang bisa dilakukan media besar. Selain itu, Facebook, misalnya, telah membuat peraturan bahwa apa pun yang kita unggah di sana otomatis menjadi hak cipta Facebook. Seperti kata Boyle, jika sesuatu kita dapat gratis dari internet, berarti kitalah komoditas yang mereka jual (kepada pengiklan).

Media komunitas juga sulit berkembang. Media semacam ini kritis, tetapi tidak partisipatif. Pembacanya tersegmentasi pada komunitasnya. Ideologi tertentu yang diusungnya juga kerap membuatnya eksklusif.

Selain dua tantangan tadi, pemilik dan informasi yang beragam, ada satu hal yang luput dari media-media di Indonesia hari ini: yakni media sebagai alat pengorganisasian massa. Itulah mengapa, pesimisme sering menguar dari kalangan wartawan dan penulis. Bahwa media hanya memuat tulisan atau menayangkan berita, tetapi sangat jarang mampu menggerakkan orang untuk menciptakan perubahan. Pengalaman media sebagai alat pengorganisasian massa bukan tak ada di Indonesia. Media-media semasa Kebangkitan Nasional hingga sebelum 1965 adalah contohnya. Kebutuhan atas tiga hal tersebutlah yang akan dijawab oleh media kooperasi.

Media kooperasi, kemungkinan, juga akan cocok dengan model media di masa depan. Boyle (2013) menyebutkan, salah satu opini umum dari para pengamat media tentang masa depan media adalah adanya media yang dikelola dengan sistem produksi baru yang menerabas jarak antara pembaca dan penulis. Sistem ini membutuhkan mekanisme pembiayaan baru yang memungkinkan media itu dibiayai bersama. Atau, “Pada intinya, media berita sangat ingin memproduksi berita dengan dukungan finansial yang lebih lengas, sementara publik menginginkan media yang dapat mereka percaya” (Boyle, 2013: 5). Menurut Boyle, kooperasi dapat menjawab dua kebutuhan itu.

Di antara nama-nama media kooperasi yang disebutkan di atas, masing-masing memiliki ciri pengelolaannya masing-masing. Yang menyamakan mereka hanyalah kepemilikannya yang beragam—beberapa lainnya juga menyajikan konten alternatif. Untuk itu, diadakan rembukan panjang yang berdiskusi untuk merancang konsep media kooperasi Literasi.co, macam apa ia diinginkan?

Pada akhirnya, ditentukan bahwa media ini adalah media alternatif. Nilai alternatif tersebut diukur dari empat hal:

Pertama, media ini dimiliki bersama, yakni oleh anggota Kooperasi Litera, dengan prinsip “satu orang satu suara”. Artinya, tiap pemilik berhak ikut menentukan keputusan apa pun yang akan diambil. Model ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun, termasuk pembaca Literasi.co kelak, untuk turut memiliki media ini. Dengan begitu, batas antara produsen (berita) dan konsumennya diruntuhkan.

Kedua, redaksinya independen. Independensi itu berupa sikap kritis ditampakkan dalam isi dan proses produksi media ini. Dalam hal isi, ada lima indikator yang menjadi kunci dalam memilih tema-tema laporan di media ini, yakni: (1) semua bentuk intimidasi, (2) antagonisme realitas, (3) peluang perubahan yang mungkin diambil, (4) semua bentuk dominasi dan penghisapan, dan (5) usaha terus-menerus untuk membangun masyarakat yang lebih kooperatif.

Ketiga, mekanisme kerjanya menempatkan orang-orang di dalamnya semua setara. Dengan model kepemilikan dan tata kelola yang berprinsip pada “satu orang satu suara”, tidak ada pihak yang dominan. Wartawan dan pembacanya adalah juga pemilik. Media ini juga terus berusaha agar wartawannya tidak berjarak dengan masyarakat.

Keempat, berbasis masyarakat. Caranya, dengan mengangkat isu riil di masyarakat, serta melibatkan saluran berpendapat bagi semua orang.

Terbuka untuk terus berkembang

Media kooperasi Literasi.co dimiliki oleh anggota Kooperasi Litera. Keduanya bernaung di bawah organisasi GLI. Sebagai konsep, keduanya masih sangat muda. Baru digodok di tahun lalu. Kooperasi Litera sendiri sudah merekrut anggota sejak akhir tahun lalu, tetapi konsepnya masih terus dimatangkan hingga hari ini. Anggotanya baru mencapai angka 43 orang (per 1 Maret 2014). Ia belum bisa menghasilkan laba—walau tidak berarti ia mandek dan tidak operasional.

Literasi.co berusia lebih muda lagi. Juni ini adalah edisi perdananya. Kitabnya, yang dinamai Buku Putih Media Kooperasi Literasi.co, yang akan menjadi penuntun kerja-kerjanya ke depan, baru rampung April lalu.

Dalam hal konsep dan arah kerja, media ini sudah memilikinya. Permasalahannya ada pada jumlah pemiliknya, alias anggota kooperasi. Media ini baru bisa menampakkan tajinya jika kebutuhan finansial bukan lagi masalah baginya. Karena diharapkan menjadi media profesional, tidak akan ada wartawan yang tidak dibayar, misalnya. Dengan begitu, media ini akan lebih ramah kepada orang-orang yang seiya dengan idenya, sekaligus membutuhkan pendapatan untuk biaya hidup.

Idealnya, sebuah media dipercaya luas sebagai media bagus terlebih dahulu baru mampu mengundang banyak orang untuk menjadi pemiliknya. Namun, untuk menjadi media bagus yang profesional, butuh banyak orang yang mengumpulkan banyak uang. Ini serupa lingkaran setan, atau mengundi ayam atau telurkah yang lebih dulu. Untuk kasus Die Tageszeitung, ia memakai cara kedua: mengumpulkan 10.000 pelanggan dulu, baru kemudian edisi perdananya terbit.

Skema keuangan adalah salah satu hal paling memusingkan di media ini. Saat ini, sembari mengerjakan media ini dengan semangat pro bono, kami terus berusaha untuk menemukan model paling bagus untuk menghidup-besarkan media ini. Dengan kepemilikan beragam—43 orang, saat ini, adalah jumlah yang lumayan juga untuk ukuran pemilik media—salah satu ciri media ini, sejak dari konsep, adalah keterbukaannya pada perubahan dan perkembangan.

Media ini tidak bermula dengan konsep yang sudah selesai dan memang tidak dimaksudkan begitu. Kajian tentang masalah konglomerasi media yang menjadi latar belakang munculnya media ini sudah begitu banyak, tetapi belum ada solusi yang sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menjadi jawabannya. Untuk itu, butuh orang yang memulai gerakan yang menciptakan solusi. Sebab, jika tidak menjadi solusi, maka bisa jadi Anda adalah masalah itu sendiri.[]

Bibliografi

Boyle, Dave. 2013. Media Kooperasi & Kooperasi Media. Diterjemahkan oleh Bosman Batubara. Yogyakarta: Insist Press, Co-operatives UK, dan Gerakan Literasi Indonesia.

Gerakan Literasi Indonesia. 2014. Buku Putih Media Kooperasi Literasi.co. Tidak dipublikasikan.
Lim, Merlyna. 2012. The League of Thirteen Media Concentration in Indonesia. Laporan penelitian. Tempe, Arizona: Participatory Media Lab at Arizona State University.

Nugroho, Yanuar, D. A. Putri, dan S. Laksmi. 2012. Mapping the Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia. Laporan penelitian. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance.

Utomo, Wisnu Prasetya. 2013. “Media Kooperasi, Alternatif di Era Konglomerasi Media?”. 27 September. http://indoprogress.com/2013/09/media-kooperasi-alternatif-di-era-konglomerasi-media/

“Kompasiana: Tulisan Jilbab Hitam Provokatif”. 12 November 2013. http://www.tempo.co/read/news/2013/11/12/063529089/Kompasiana-Tulisan-Jilbab-Hitam-Provokatif


“MK Batalkan Undang-Undang tentang Perkoperasian”. 28 Mei 2014. http://www.antaranews.com/berita/436287/mk-batalkan-undang-undang-tentang-perkoperasian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar