03 Mei 2012

Toru


LAMPU-lampu taman menyala di tengah hujan salju. Warna merkuri yang lembut. Juga sendu. Toru berdiri di sebelah sini dan Midori di sebelah sana. Salju tetap gugur. Midori tiba-tiba berada di depan hidung Toru. Bercerita tanpa ditanya. “Dan kami pun putus.” Ia bicara tentang kekasihnya.


Padahal Midori baru saja menghilang dari hidup Toru. Aku hanya tahu Norwegian Wood dari film, belum novel, jadi aku sendiri tidak mengerti mengapa Midori tiba-tiba membangun rasa permusuhan dengan Toru. Dan tiba-tiba saja, di suatu hari di kafetaria, Midori menghampiri Toru, duduk di hadapannya, lalu mengulurkan tangan. Toru hanya mengikuti alur yang Midori ciptakan. Midori mengajaknya pergi. Mereka tiba di taman itu, di tengah rinai salju.

Usai Midori berkata begitu, Toru menjawabnya dengan sesuatu yang bangsat. “Aku mencintaimu."

“Dengan sepenuh hati,” lanjutnya. “Tapi untuk saat ini aku tidak dapat berbuat apapun.”

Pagi ini aku teringat fragmen itu sembari seorang temanku mengajukan pertanyaan besar buat kami: Mungkinkah mencintai dua orang sama besarnya di saat yang sama?

***

SAAT itu menjelang pukul setengah dua pagi saat sms A tiba di ponselku. Ngajak nongkrong. Aneh. Tapi aku balas: iya, di mana? Dia lalu mengirimkan sebuah alamat. Dia juga menambahkan penjelasan: aku sedang sedih sekali.

Lucu, aku dan A bukan teman dekat yang sering berkumpul. Pertemuan kami hitungan jari dan seringnya atas inisiatifku. Pagi itu aku kaget dua kali, pertama karena dia—untuk pertama kali pula—mengajak nongkrong, kedua, karena dia menyinggung soal hati di sana. Kalimat “Aku sedang sedih sekali” itu.

Malam agak dingin. Aku sampai di tempat. Dia dan temanku lainnya, B, sudah di sana. Kami berkumpul bertiga serupa sekte orang patah hati. Dia tertawa-tawa terus sampai aku berpikir, “Apanya yang sedih?” Di dunia ini, bukan sekali ini saja aku bertemu orang macam demikian. Tipe yang mudah merasa tidak enak dengan orang lain, sungkan. Bahkan untuk bercanda lewat ejekan saja, dia masih terlalu halus. Tipe yang sedih pun ditutup-tutupi, padahal beberapa menit yang lalu mengatakan “aku sedih” di sms. Jadi begitulah, sebelum ceritanya benar-benar keluar, dia senyum-tertawa saja. “Aih, pura-pura,” aku membatin (haha, ini hanya khayalanku saja, sesungguhnya tidak ada adegan ini).

Rupanya dia habis bertemu dengan masa lalu. Cinta Lama yang berakhir dengan tidak mulus. Si Cinta Lama ini tinggal di kota lain dan sehari lalu singgah di kota kami. Cinta Lama mengirim pesan kepada A, mengajak bertemu (mungkin kata “kangen” disebut-sebut dalam sms itu, tapi temanku tidak menceritakannya. Mungkin). Menurut A, dia bisa saja tidak membalas sms itu dan pura-pura tidur. Tapi dia segera mengiyakan ajakan itu. “Badanku seperti bergerak sendiri,” kata A. Begitu bergairah untuk bertemu sampai-sampai ia hanya cuci muka dan sikat gigi.

Mari kita bayangkan: Dia berangkat dengan hati berdebar. Mungkin, sambil terus memegang setir sepeda motor, dia sempat memeriksa apakah celana dalamnya terpasang dengan benar; menghembuskan nafas ke telapak tangan untuk mengecek aroma nafasnya; bahkan, mungkin, memastikan ke spion apakah pipinya tidak merona.

Mereka bertemu. A dan Cinta Lama. Berjalan bersama ke perpustakaan. Mungkin bagimu semua terasa biasa saja: mereka berjalan sambil bertukar cerita dan kabar orang-orang yang mereka kenal, melintasi kerumunan orang. Tangan A mengumpet dalam saku jaketnya, si Cinta Lama sesekali bernostalgia pandang dengan tahi lalat di lereng hidung A. Semoga saja A tidak berbuat konyol dan bodoh seperti biasanya. Lupa jalan ke perpus, misalnya.

Namun tidak ada yang biasa di dunia ini. Setiap daun yang jatuh pun punya cerita yang tak pernah sama.

Pada mereka, cerita yang tidak pernah sama itu dimulai dari dua tangan yang menggenggam. Ketika mereka—bisa sampai—bergandengan, aku sebagai pengamat yakin: mereka berdua merasakan hal yang serupa. 

Ya, keduanya merasakan hal serupa. Si Cinta Lama, aku yakin, juga menahan napas kala mengirim sms ajakan itu. Merapikan rambutnya beberapa kali sebelum mereka bertemu. Kemudian membayangkan sedikit, seperti apa rupa pacar lamanya itu sekarang, “Apakah masih seperti dulu?” Apakah lebih tirus seperti dalam potret-potret yang A pajang di akun Facebook? Pikiran itu meloncat-loncat di kepalanya sementara hatinya pun meloncat-loncat. Barangkali momen ini tidak begitu berbeda dengan momen kencan pertama mereka bertahun-tahun lalu.

Apa? Kamu bilang aku terlalu apropri? Oh, tidak! Aku tidak berlebihan dalam menerka. Karena masih ada kejutan selanjutnya. Sebelum berpisah Cinta Lama mengajukan permintaan yang bila kamu baca nanti, kamu pasti sepakat padaku bahwa antara mereka berdua ada perasaan yang sama. Ada si lima kata berawalan R dan berakhiran U itu. Yap, betul, kata bangsat itu.

Cinta Lama meminta sebuah pelukan pada temanku. Pelukan yang A tegaskan pada aku dan B sebagai “friendly hug”. Pertanyaannya, seberapa sering kamu berpelukan dengan mantan pacarmu, apapun istilah untuk pelukan itu? Sebuah friendly hug yang berujung tragis. Hahahahahahaha.

***

KATA A, ia didera rasa bersalah karena sudah (merasa) tidak setia. A sudah punya kekasih yang manis. Tapi, akunya, bertemu Cinta Lama sesaat itu pun sudah memorak-morandakan rasa mapan yang telah dia bangun dengan kekasih manisnya. Pada akhirnya A bertanya pada aku dan B: Apakah mungkin mencintai dua orang sama besarnya di saat yang sama?

Kata B mungkin, kataku tidak. B bilang, bisa saja ada dua cinta, hanya saja kadarnya pasti berbeda. Aku bilang, cinta tidak diterjemahkan dalam kadar. Cinta ya cinta, tidak ya tidak. Selain cinta hanya ada rasa membutuhkan atau rasa ingin memiliki saja. Tidak ada cinta yang “kadarnya sedang-sedang saja” misalnya. A sepertinya sepakat denganku, tapi dia tidak mau bilang—mungkin juga masih bingung—pada alamat yang mana cinta itu dikirim: kepada Cinta Lama yang pernah memberinya beberapa kenangan buruk atau kepada kekasih manis yang kerap A cemburui.

Dan bukan hak kita untuk menentukan jawabannya.

***

DI taman itu, kursi-kursi besi tak terbayangkan dinginnya. Bahkan tak ada ruang untuk duduk karena semua tertutup salju basah. Lampu merkuri masih menyala dengan pendarnya yang lembut, samar, dan sendu. Lampu itu seperti air mata di wajah yang beku. Mata Midori terpacak pada wajah Toru. “Katakan padaku… apa kau tidur dengannya?”

Jawaban Toru memuakkan. “Hanya sekali. Tahun lalu.” Padahal Toru bercinta berkali-kali dengan Naoko. “Kemudian kami bertemu dua kali. Tapi tidak ada apa-apa di antara kami.”

Aku tidak tahu mengapa aku mengutip Norwegian Wood. Aku tak mampu menjelaskannya. Aku juga tidak bisa mengerti siapa cinta A yang sesungguhnya. Tapi apa A butuh penjelasan sistemik dari pendedahan momen sepintas dengan Cinta Lama itu? Mungkin A hanya menyalurkan hasrat tertahan karena tidak puas dengan akhir cinta yang terlalu remeh. Mungkin A memang sangat suka dengan Cinta Lama. Mungkin A cuma rindu sesaat.

Kami selesai kongko pukul setengah sembilan pagi. Enam setengah jam percakapan diperlukan untuk mengalihkan sejenak sedih karena pertemuan sesaat. Obrolan kami beralih ke topik-topik ringan (kecuali si B yang memang tidak bisa bicara hal ringan). A mulai senyam-senyum lagi. Matahari terbit. Kami duduk di pelataran rumah. Semua rasanya indah. Kami menonton orang-orang melintas. Seorang nenek. Lelaki muda yang menjinjing tabung gas 3 kg. Seorang lelaki menggendong bayi yang berjalan dengan gadis kecil yang naik sepeda. Mereka berjalan dari utara, mendekat, dan saat wajah ketiganya tampak jelas di mata A, astaga! Gadis cilik itu berwajah serupa dengan Cinta Lama![]

Jogja, 1 Mei 2012

2 komentar: