KETIMBANG ingat Tuhan, saya justru lebih sering ingat
mati. Terutama jika sedang di jalan raya, rasanya maut ada di mana-mana. Saya pernah
dua kali mengalami kecalakaan motor, tak lama setelah keduanya, saya sempat
paranoid sekali dengan kendaraan lain. Apalagi motor. Namun kalau sudah lama
berlalu, saya lupa sendiri dengan ketakutan itu dan jadi gemar memacu motor
lagi (walau kalau ngebut sekalipun tak ada apa-apanya dengan kadar kecepatan motor
Jihan).
Belakangan, saya terus-menerus dihantui pikiran bahwa
saya akan mati sebentar lagi. Kata orang, jika memimpikan seseorang meninggal,
itu tanda panjang umur. Semua orang di rumah saya pernah saya mimpikan
meninggal, tapi saya tak pernah bermimpi bahwa saya sendiri yang meninggal.
Dulu saya takut sekali dengan mati, sebab bayangan
saya adalah azab yang macam-macam. Namun setelah semakin besar, saya pikir
begitu relatifnya apa yang mungkin terjadi setelah mati membuatnya lebih baik
tak usah dipikirkan. Saya tak butuh motivasi untuk berbuat baik dalam kehidupan
sehari-hari dengan tujuan mempersiapkan kehidupan setelah mati yang damai dan
tenteram. Semisal saya tidak mencuri, itu bukan karena takut azab, hanya dengan
pertimbangan bahwa kalau saya yang kecurian saya pasti akan kesal sekali. Jadi ketimbang
ajaran-ajaran Islam, sebenarnya saya lebih terdoktrin dengan kata-kata
Konfusius bahwa “jangan lakukan apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan
padamu.”
Dengan bayang-bayang akan mati sebentar lagi seperti
sekarang, saya merasa sangat sedih. Orang tua, terutama ibu saya yang membuat
saya sedih. Sebab sewaktu adik saya meninggal, dia kelihatan terpukul sekali. Saya
pikir, kalau sampai harus dua kali melihat anaknya membujur diliputi kain batik
di ruang tengah rumah kami, pasti itu akan jadi pengalaman terburuknya.
Lalu saya juga memikirkan bapak saya. Saya sedang
mempersiapkan diri menjadi orang yang bisa diandalkan di rumah setidaknya
supaya dia bisa istirahat. Lebaran tahun ini dia bilang ingin beli mobil, namun
karena memikirkan bahwa menjual tanah untuk beli mobil sama saja menghapuskan
warisan buat anak-anaknya, dia mengurungkan niat. Jika saya mati terlalu cepat,
pasti akan lama sekali bagi dia menunggu waktu istirahat itu. Apalagi menurut
saya, adik saya yang kedua bukanlah orang yang terlalu memikirkan beban orang
tua dan punya pikiran jangka panjang soal keluarga.
Tapi tentu saja saya tak bisa mengatur mati. Jadi,
saya pikir saya perlu membuat sebuah catatan untuk keluarga saya jika saya
mendadak meninggal di kota lain. Menyampaikan hal-hal yang saya tidak mungkin
bisa bicarakan dengan orang tua dalam waktu dekat dan secara verbal. Kurang lebih
saya ingin bilang:
“Cawan yang cacat adalah cawan yang
sempurna,” tulis Yoshikawa Eiji dalam Taiko.
Hidup yang tidak sempurna adalah hidup yang sempurna. Terima kasih ya sudah
membuat saya merasakan keluarga dan hidup yang tak sempurna itu. Sebenarnya saya
mau hidup lebih lama dan memberi kalian setidaknya beberapa kebahagian
material, namun nyatanya saya sudah harus selesai di sini. Tolong akhir hidup
saya yang ditutup dengan tidak membanggakan ini jangan dijadikan pikiran
kalian. Berbahagialah, jangan pikirkan saya, dan sampai jumpa di lain zaman
seandainya kita memang ditakdirkan bertemu kembali.
Entah mengapa saya sedih sekali malam ini. Betapa mati
lebih dulu daripada orang tua itu tindakan yang egois sekali. Tapi jika itu yang
memang harus terjadi, saya mau menekankan pada mereka, bahwa jika ada kesalahan
dalam jalan hidup yang saya ambil, itu salah saya sendiri. Saya kan sudah
dewasa walau tidak disunat.
Ah, semoga semuanya baik-baik saja dan berumur
panjang.[]
menarik :)
BalasHapusMbaknya sampe skrg masih sehat kan?
BalasHapus