16 November 2012

Kalau Saya Meninggal Sebentar Lagi


KETIMBANG ingat Tuhan, saya justru lebih sering ingat mati. Terutama jika sedang di jalan raya, rasanya maut ada di mana-mana. Saya pernah dua kali mengalami kecalakaan motor, tak lama setelah keduanya, saya sempat paranoid sekali dengan kendaraan lain. Apalagi motor. Namun kalau sudah lama berlalu, saya lupa sendiri dengan ketakutan itu dan jadi gemar memacu motor lagi (walau kalau ngebut sekalipun tak ada apa-apanya dengan kadar kecepatan motor Jihan).

Belakangan, saya terus-menerus dihantui pikiran bahwa saya akan mati sebentar lagi. Kata orang, jika memimpikan seseorang meninggal, itu tanda panjang umur. Semua orang di rumah saya pernah saya mimpikan meninggal, tapi saya tak pernah bermimpi bahwa saya sendiri yang meninggal.

Dulu saya takut sekali dengan mati, sebab bayangan saya adalah azab yang macam-macam. Namun setelah semakin besar, saya pikir begitu relatifnya apa yang mungkin terjadi setelah mati membuatnya lebih baik tak usah dipikirkan. Saya tak butuh motivasi untuk berbuat baik dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan mempersiapkan kehidupan setelah mati yang damai dan tenteram. Semisal saya tidak mencuri, itu bukan karena takut azab, hanya dengan pertimbangan bahwa kalau saya yang kecurian saya pasti akan kesal sekali. Jadi ketimbang ajaran-ajaran Islam, sebenarnya saya lebih terdoktrin dengan kata-kata Konfusius bahwa “jangan lakukan apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan padamu.”

Dengan bayang-bayang akan mati sebentar lagi seperti sekarang, saya merasa sangat sedih. Orang tua, terutama ibu saya yang membuat saya sedih. Sebab sewaktu adik saya meninggal, dia kelihatan terpukul sekali. Saya pikir, kalau sampai harus dua kali melihat anaknya membujur diliputi kain batik di ruang tengah rumah kami, pasti itu akan jadi pengalaman terburuknya.

Lalu saya juga memikirkan bapak saya. Saya sedang mempersiapkan diri menjadi orang yang bisa diandalkan di rumah setidaknya supaya dia bisa istirahat. Lebaran tahun ini dia bilang ingin beli mobil, namun karena memikirkan bahwa menjual tanah untuk beli mobil sama saja menghapuskan warisan buat anak-anaknya, dia mengurungkan niat. Jika saya mati terlalu cepat, pasti akan lama sekali bagi dia menunggu waktu istirahat itu. Apalagi menurut saya, adik saya yang kedua bukanlah orang yang terlalu memikirkan beban orang tua dan punya pikiran jangka panjang soal keluarga.

Tapi tentu saja saya tak bisa mengatur mati. Jadi, saya pikir saya perlu membuat sebuah catatan untuk keluarga saya jika saya mendadak meninggal di kota lain. Menyampaikan hal-hal yang saya tidak mungkin bisa bicarakan dengan orang tua dalam waktu dekat dan secara verbal. Kurang lebih saya ingin bilang:

“Cawan yang cacat adalah cawan yang sempurna,” tulis Yoshikawa Eiji dalam Taiko. Hidup yang tidak sempurna adalah hidup yang sempurna. Terima kasih ya sudah membuat saya merasakan keluarga dan hidup yang tak sempurna itu. Sebenarnya saya mau hidup lebih lama dan memberi kalian setidaknya beberapa kebahagian material, namun nyatanya saya sudah harus selesai di sini. Tolong akhir hidup saya yang ditutup dengan tidak membanggakan ini jangan dijadikan pikiran kalian. Berbahagialah, jangan pikirkan saya, dan sampai jumpa di lain zaman seandainya kita memang ditakdirkan bertemu kembali.

Entah mengapa saya sedih sekali malam ini. Betapa mati lebih dulu daripada orang tua itu tindakan yang egois sekali. Tapi jika itu yang memang harus terjadi, saya mau menekankan pada mereka, bahwa jika ada kesalahan dalam jalan hidup yang saya ambil, itu salah saya sendiri. Saya kan sudah dewasa walau tidak disunat.

Ah, semoga semuanya baik-baik saja dan berumur panjang.[]

2 komentar: