13 Desember 2012

Jogja sebagai Kota Seni Rupa Asia Tenggara


YOGYAKARTA sudah punya nama gemerlap dalam jagat pariwisata Indonesia dan, mungkin, secuplik dunia, sebagai kota maupun provinsi. Namun sayangnya, ia masih direduksi pantas dikunjungi sekadar karena “kekayaan budaya”. Tak heran, jika melihat iklan-iklan audio-visual yang menampilkan beberapa detik kilasan yang kiranya merepresentasikan Yogyakarta (selanjutnya disebut Jogja), maka tak diragukan lagi, yang muncul pastilah Malioboro, Kraton, adegan tari Jawa, Prambanan, dan Borobudur (yang sesungguhnya merupakan teritori Jawa Tengah).

Apa tak ada yang baru dari Jogja?

Tentu saja banyak. Kawasan alamiah di Kabupaten Gunungkidul, misalnya, yang terus dijelajahi, dibuka, dan dipromosikan, sehingga akhir-akhir ini lumayan populer. Referensi pantai tak lagi hanya Parangtritis yang gumuk pasirnya unik namun pemandangannya lumrah. Jelajah gua bawah tanah, masih di Gunungkidul, bahkan tengah jadi tren. Tetapi, seandainya ikon Jogja sebagai muara wisata budaya tradisi hendak dibarui dengan titel baru, yakni tempat wisata alam, Jogja tetap muskil mengalahkan Bali, Lombok, maupun lokasi-lokasi lain yang jauh lebih indah.

Sebenarnya kawah seni rupa


Publikasi Biennale Jogja X
Sepanjang pameran akbar “EXPOSIGNS” yang digelar dalam rangka ulang tahun perak Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, November 2009, salah satu hal yang disesalkan adalah tak adanya kerja sama antara penyelenggara pameran dengan hotel-hotel di Jogja.

“EXPOSIGNS” disebut-sebut merupakan pameran seni rupa terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Menyita seluruh lantai gedung Jogja Expo Center yang punya luas 9000 m2, itu belum termasuk halaman JEC yang juga dijadikan ruang pajang karya-karya raksasa—misalnya patung Kuda Batik karya Dunadi dengan tinggi 6,5 m, panjang 7 m, dan lebar 2 m. Sebanyak 600-an karya seni ditata dalam pameran ini, buah tangan 551 seniman yang sebagian besar merupakan lulusan institut tersebut.

Dengan skala ruang dan massa sebesar itu, “EXPOSIGNS” mestinya punya daya tarik besar untuk menarik pengunjung dari dalam dan luar kota Jogja. Mulai dari yang semata ingin tahu hingga yang memang meminati seni rupa. Namun sayang sekali, hotel-hotel yang bisa menjadi ceruk-ceruk untuk menjaring pengunjung justru tak digandeng untuk bantu berpromosi.

Pameran “EXPOSIGNS” hanyalah satu contoh tentang gemerlapnya seni rupa di Jogja. Dalam setahun, tak terhitung jumlah pameran yang dihelat di wilayah ini—dari Sleman di utara hingga Bantul di selatan. Apalagi jika menghitung pameran yang sudah punya nama yang mendunia semacam Biennale Jogja dan ART|JOG. Atau yang tak besar juga tak kecil, seperti Biennale Anak, Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY), Jogja Fashion Week, Festival Film Dokumenter (yang satu-satunya di Indonesia), atau Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Semua nama itu diselenggarakan secara rutin setahun sekali.


Pameran "EXPOSIGNS"
Jika mau dikalkulasikan dengan pameran berskala galeri, angka pameran seni rupa Jogja tentu mengejutkan. Dari yang kadarnya tradisional hingga yang modern-kontemporer. Tak berlebihan jika menyebut, “Tak ada akhir minggu yang sepi di Jogja.” Selalu ada acara, terutama gelaran seni rupa.

Pada ranah akademis, dengan ISI-nya, Jogja telah menjadi salah satu dari dua kutub seni rupa Indonesia. Kutub lawannya adalah ITB di Bandung. Masing-masing akademi itu melahirkan seniman dengan coraknya sendiri. Ada yang menyebut ITB berkiblat pada seni “Barat” dan ISI Jogja yang “Timur”.

Akademi adalah bagian dari infrastruktur seni rupa Jogja. Bagian lainnya adalah galeri. Ada sekira 60 galeri seni rupa tersebar di seluruh penjuru Provinsi D.I. Yogyakarta. Selain sebagai ruang seni (art space), galeri juga menghidupkan seni rupa sebagai bisnis dan ilmu pengetahuan. Kerja sama dalam berbagai proyek seni rupa, oleh galeri-galeri tertentu, tak hanya melintas region, tapi juga negara. Sebagai contoh, ada galeri Jogja Contemporary (sebelumnya bernama Tembi Contemporary) yang merupakan cabang dari jaringan galeri internasional Valentine Willie Fine Arts (VWFA). Cabang lain VWFA tersebar di Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila. Dengan begitu, artis dari Indonesia bisa bertukar pikiran dengan seniman asing yang kerap datang dalam program residensi, serta sebaliknya.

Fungsi lain galeri adalah sebagai ruang bertukar pikiran. Kebanyakan galeri di Jogja, yang swasta maupun dikelola pemerintah, menyediakan ruang untuk diskusi, penciptaan, dan presentasi seni. Bahkan dalam momen-momen khusus, katakanlah Biennale Jogja, definisi “galeri” sebagai ruang seni meruak ke ruang-ruang yang tak terkirakan: di bank (Bank Indonesia), museum, pendapa kantor Desa, stasiun, hingga trotoar.


Karya dalam Biennale Jogja X
Karya dalam Biennale Jogja X
Karya dalam Biennale Jogja X
Seni rupa yang berbeda dan genial

Namun akademi dan medan seni hanyalah benda mati bila tak ada pelakunya. Dan semua kelengkapan itu sesungguhnya sudah tersaji di Jogja: art management, event organizer, rombongan kurator, sejarawan, media massa yang siap mengapresiasi seni, kolektor, komunitas perupa, dan—yang paling penting—masyarakat penikmat seni (tradisi, kontemporer, maupun kreasi-kreasi baru). Lebih ekstrem lagi, ada usaha-usaha progresif untuk menyusun basis data seni rupa Jogja maupun Indonesia (yang berpangkalan di Jogja) dalam bentuk buku maupun data digital. Untuk itu bisa disebut dua nama: Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009 terbitan Gelaran Budaya, Jogja, dan situs indonesiaartnews.or.id yang dikelola oleh kurator Kuss Indarto dari Jogja. Yang segera menyusul adalah buku Direktori Seni Rupa Yogyakarta 2013, kabarnya akan dirilis pada 11 Maret 2013.

Lalu, bagaimana respons masyarakat Jogja terhadap geliat seni rupanya?

Ketika patung Joko Tingker karya Pramono Pinunggul, salah satu peserta Biennale Jogja X,  dipajang di Stasiun Tugu untuk menyambut Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Cameron Hume, muncul protes dari para tukang becak yang biasa mangkal di titik 0 km meminta patung tersebut dipindahkan. Dianggap mengganggukah patung itu? Rupanya, patung tersebut diminta untuk kembali dipasang di depan Monumen SO 1 Maret, Malioboro, sebab banyak menarik wisatawan untuk mampir dan berfoto. Berita ini menunjukkan, warga Jogja memahami seni sebagai aset, meski mungkin dalam aras yang paling pragmatis.

Persentuhan antara seni rupa dan masyarakat Jogja berlangsung baik-baik. Barangkali puncaknya adalah Biennale Jogja X yang membagi ruang pamernya dalam dua kategori: dalam galeri dan di ruang publik. Kategori kedua membuat karya-karya rupa peserta Biennale digelar di persimpangan jalan, perempatan, di depan kampus, di satu titik di sebuah desa… Seni rupa tak lagi elitis. Ia tersentuh, patut disentuh, membaur, dan menyenangkan.
Pembukaan Biennale Jogja X di Taman Budaya Yogyakarta
Kualifikasi Jogja yang demikian membuat ia disebut sebagai salah satu kota seni rupa-nya Asia Tenggara. Ada pula yang mencatat bahwa Presiden Sukarno menyebut Jogja sebagai ibu kota seni rupa Indonesia. Bila mencatat kuantitas gelaran-gelaran penting yang ditaja di Bandung, Jakarta, Bali, dan Jogja—tiga arena seni rupa paling bingar di Indonesia—rasanya sebutan-sebutan itu tidak melebih-lebihkan. Kurator Mikke Susanto menulis, perkembangan seni rupa Jogja memang yang paling pesat di Indonesia, juga dengan jumlah perupa terbanyak: dua hal yang mendukung turut ramainya wacana seni rupa di sini.

Namun, meski mendunia, seni rupa Jogja punya khas, genialitasnya sendiri. Seni rupa merambah ruang publik mungkin memang langka di Indonesia, namun itu telah biasa untuk khalayak Eropa, misalnya. Genialitas Jogja bisa dibaca, salah satunya, dari komentar Camiel van Lenteren terhadap ART|JOG 2011 berikut.

“ART|JOG|11 hadir dengan image provokatifnya sendiri: sebuah kepala bayi raksasa dari tanah liat, terbaring di dalam sebuah lubang besar, karya Eddi Prabandono. Saya belum pernah mengalami yang seperti ini di art fair lainnya, sebuah pintu masuk yang mengharukan.”

Van Lanteren adalah project leader exhibitions untuk Centraal Museum, Utrecht, Belanda. Pernyataannya tersebut bisa dibaca di situs artfairjogja.com. ART|JOG sendiri dipuji sebagai art fair yang “lain daripada yang lain” sebab meniadakan campur tangan galeri dalam pamerannya.

Maka, dengan catatan yang sedemikian rupa, seberapa banyak seni rupa di Jogja disadari sebagai potensi wisata?

Merintis citra ikon seni rupa

Setelah infrastruktur tersedia, tugas yang sesungguhnya adalah bagaimana menjaring orang untuk datang menyambangi tempat-tempat yang telah tersedia. Ini soal membuat orang-orang—calon wisnus dan wisman—terlebih dahulu tahu bahwa lokasi-lokasi yang siap dirujuk itu ada.

Muhidin M. Dahlan dalam “Almanak Kota” (Jawa Pos, 2 Desember 2012) mengingatkan akan pentingnya almanak bagi sebuah kota. Menurutnya, brosur (pariwisata) terlalu “ringkih” untuk merekam jejak kota yang terus bergerak tiap detiknya. Di sisi lain, petunjuk semacam Yellow Pages maupun White Pages hanya ditujukan bagi yang sudah tahu apa yang ia tuju (sehingga ia tinggal merujuk pada alamat saja). Kedua jenis direktori babon itu tidak menerangkan kualitas dan deskripsi—yang justru persuasif—mengenai sesuatu yang dicari-cari oleh wisatawan.

Contoh bagus untuk sarana promosi pariwisata yang menyediakan informasi paling lumrah yang dibutuhkan wisatawan adalah situs travel.nytimes.com, sayap media bergengsi New York Times. Di situs ini tersedia panel-panel seperti “where to eat”, “where to stay”, “what to do”, dan “when to go”. Ia juga menyediakan jasa booking tiket pesawat, hotel, mobil, hingga kapal. Kemudahan yang demikian lebih disukai pelanggan. Menurut Nick Szabo, ekonom George Washington University, itu karena kemudahan tersebut menihilkan biaya transaksi mental alias biaya untuk berpikir. Sayangnya, untuk kawasan Indonesia, travel.nytimes.com hanya menyimpan direktori untuk entri “Bali”.


Salah satu web tentang Jogja
Laman travel.nytimes.com
Sudah banyak basis data pariwisata Jogja, namun yang sekiranya paling baik dan terkelola adalah yogyes.com yang tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selain itu, seiring dengan semakin populernya website bersistem 2.0 (pengguna tak hanya konsumen, namun juga produsen informasi) seperti Twitter dan Facebook, muncul akun-akun yang membagi-bagikan informasi gratis seperti @InfoJogja, @JogjaUpdate, page YOGYAKARTA, atau @InfoSeniJogja.

Namun kelemahan dari akun-akun pengumpul itu adalah  sistem timeline yang terus bergerak cepat. Butuh sebuah model kumpulan informasi kota yang lebih baku, teratur, lengkap, dan sistematis. Untuk itu, almanaklah jawabannya. Spesifiknya, yang dimaksud kali ini adalah almanak kota seni rupa.

City guide gratis

Almanak kota seni rupa adalah gabungan antara almanak kota dan almanak seni rupa. Ia tak hanya direktori alamat sebagaimana White Pages, namun menerakan deskripsi kualitatif, bahkan kalau perlu disertai rating mengenai wahana seni rupa yang bisa dikunjungi di Jogja.

Mengingat almanak yang biasanya tebal, mungkin yang terbayangkan adalah kerja penyusunannya yang pasti berat. Semua bisa jadi sangat mudah jika merujuk pada kerja penyusunan Oxford English Dictionary yang dimulai tahun 1858. Frederick J. Furnivall, ko-kreator OED, membuat iklan di koran untuk memanggil bantuan para pembaca volunter  yang kemudian sukarela membantu penyusunan kamus tersebut. Dengan adanya situs semacam yogyes.com maupun akun-akun pembagi info di jejaring sosial, penyusunan materi almanak hanya perlu dilakukan oleh beberapa penyunting. Sebab, yang perlu dilakukan hanya tinggal menyeleksi dan memverifikasi data.

Dengan melibatkan banyak orang dalam pengumpulan data almanak tersebut, keuntungannya adalah selain biaya mengumpulkan data yang nol rupiah, kegiatan tersebut juga akan mengintroduksi almanak itu sejak sangat dini. Partisan pengumpul informasi kelak juga akan menjadi konsumennya. Dengan kata lain, promosi telah dilakukan bahkan sejak benda tersebut masih dalam bentuk data mentah. Ini jamak terjadi di dunia maya ketika perusahaan-perusahaan besar meluncurkan versi beta suatu produk (versi percobaan) yang tak berisiko pada penerimaan produk oleh konsumen. Kritik, saran, maupun perilaku konsumen terhadap produk itu justru sangat berguna untuk menyempurnakan produk.

Hal penting lainnya adalah, almanak ini nanti haruslah dikemas dengan memanfaatkan konvergensi media: berupa cetak, digital, dan online. Keharusan kedua, apapun bentuknya, ia harus bisa didapatkan gratis. Sebab, tujuan pertama adalah me-massa-kan terlebih dulu informasi: bahwa Jogja adalah kota seni rupa. Harga adalah hambatan pertama dan terbesar bagi calon wisatawan untuk tahu. Hambatan kedua adalah gerak. Sebagai contoh, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta telah bekerja dengan baik ketika menghasilkan beberapa buku mengenai pariwisata dan kebudayaan. Namun buruknya, buku tersebut justru dicetak terbatas dan untuk mendapatkannya orang harus bergerak datang ke kantor dinas. Bagaimana jika yang berminat adalah orang yang tinggal di luar Pulau Jawa? Tentu sangat merepotkan. Mengenai mekanisme gratis yang tidak merugikan lebih lengkapnya bisa dibaca dalam buku Gratis: Harga Radikal yang Mengubah Masa Depan (Gramedia, 2010).

Singkatnya, promosi dan kemudahan yang sebesar-besarnya bagi calon wisatawan merupakan faktor penting untuk membuat almanak tersebut sepopuler mungkin. Selanjutnya, tahu yang akan bekerja dengan sendirinya mendatangkan wisatawan ke Jogja. Bila digambarkan dengan analogi, mungkin begini: tidak semua orang yang memakai smartphone memang membutuhkan fitur yang disediakan, namun karena orang tahu (dan ingin tahu lebih lanjut) mengenai produk satu itu, mereka pun mengonsumsinya.

Bagian terakhirnya adalah, semua informasi tersebut harus merangkul dan menghubungkan komponen-komponen pariwisata, yakni penginapan, sarana transportasi, tempat belanja, toko souvenir, pusat jajanan, dan lain-lain.

Menciptakan “Google”

Seni rupa adalah potensi pariwisata Jogja yang belum tergali. Di sini, bisa dijumpai karya rupa tradisional (wayang, keris, ukir-ukiran kayu, batik) hingga yang modern dan kontemporer (lukisan, patung, seni grafis, arsitektur, media baru, foto, dan film). Ruang seni tergelar di rumah pribadi, galeri seni, balai kebudayaan milik pemerintah, hingga di ruang publik. Pentas-gelaran seni tersaji nyaris sepanjang waktu. Informasi mengenai semua itu bertebaran, menyerak, begitu banyak, sekaligus tak tertata. Almanak kota seni rupa inilah yang akan menjadi pengumpul data, rujukan informasi yang sedianya jadi yang pertama kali terlintas di pikiran ketika seseorang hendak menjelajah Jogja dari manapun ia berada. Sebab limpahan informasi terkadang justru menjadikan orang bingung harus mulai dari mana. Untuk itu, almanak ini akan menjadi semacam “Google”, sesuatu yang pertama kali dipikirkan seseorang ketika ingin mencari tahu. Ia juga harus tercitrakan sebagai sumber yang valid, objektif, dan tidak terkontaminasi iklan.

Akhir 2013 akan diselenggarakan Biennale Jogja XII. Gelaran kali ini merupakan seri kedua dari rangkaian Biennale Equator yang menampilkan kerja sama Jogja dengan negara lain. Seri pertama yang ditaja akhir tahun lalu telah memamerkan karya seniman India dan Indonesia. Ini adalah gawe internasional yang semestinya bisa memancing datang orang-orang dari segenap penjuru. Apakah Jogja sudah siap menjadi ikon seni rupa Asia Tenggara?[]


Referensi
website

http://www.krjogja.com/news/detail/16969/Diprotes.Warga..Patung.Joko.Tingker.Dikembalikan.Lagi.html

Buku

Anderson, Chris. 2010. Gratis: Harga Radikal yang Mengubah Masa Depan. Diterjemahkan oleh Daniel Wirajaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dahlan, Muhidin M. 2009. Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009. Yogyakarta: Gelaran Budaya.
Wenchester, Simon. 2007. The Professor and The Madman. Diterjemakan oleh Bern Hidayat. Jakarta: Serambi.

Lain-lain

“Pameran Besar Seni Rupa 'EXPOSIGNS': 600 Seniman Bidik Indonesia yang Keruh”. Kedaulatan Rakyat, 14 November 2009.

2 komentar: