09 Mei 2013

Sebuah Pertanyaan untuk Cinta*



“Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
Dari kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan”
—Conrad Aiken

DALAM cerpen itu Seno menulis, “Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta.”

Sebab menangis untuk pertama atau keseratus kalinya tak ada bedanya. Cinta yang selesai selalu sesakit itu, semenyengat itu. Impian-impian patah, cerita-cerita tuntas, tak ada lagi dekap, tak ada lagi kerlingan tiap akan berpisah sebelum bertemu lagi esok hari. Kode-kode rahasia kita lenyap. Panggilan-panggilan itu pelan-pelan jadi usang. Kita bersimpangan jalan suatu ketika, aku melambai, kau membalas, sudah, begitu saja.

Tapi apa gunanya Seno tahu, atau kau tahu, bahwa tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta?

Toh, ia akhirnya tetap menangis sendiri, bukan? Aku benci kenyataan bahwa cinta berakhir selalu dengan alasan sepele. Seakan ratusan hari yang lewat: cerita indah, kebaikan bertubi-tubi, mata yang kau tahu binarnya sepenuhnya tulus, semua itu tak punya harga. Satu, dua, tiga alasan sepele, dan lalu kau pun tak peduli. Seakan ratusan hari lalu cuma jejak di pinggir pantai, atau padang pasir. Selekas angin lewat, selekas ombak datang, semua segera hilang.

Kau tahu, ia baru saja berangkat dari kekelaman. Kau baginya cahaya seluruh. Kau baginya adalah mimpi yang menyatakan diri. Kau adalah doa yang terkabul. Kau adalah fantasi yang tak lagi utopis.

Kau tahu dan kau tak mau tahu. Sebab bagimu kau adalah kau, dan aku adalah aku. Kau dan aku—tiga huruf yang sama membentuk satu kata. Kronologi berbeda, urutan yang lain, maka bunyinya pun lain. Cerita yang lain. U, K, A. Kau. Aku.

Bukankah kita berdua sama saja dengan dua kata itu. Disusun dari perasaan yang sama, kebaikan yang sama, kasih yang sama, juga… dosa yang sama, kesalahan yang sama? Hanya kronologinya yang berbeda?

Ah, alasanmu. Kau memang pintar bikin alasan. Pokoknya aku mau pisah, titik!

Selalu seperti itu. Kalau mataku sudah cukup meyakinkanmu bahwa cinta tak butuh masa lalu, cinta cuma soal kini dan besok, aku pastilah tak akan bersimpai kata soal ini-itu. Soalnya satu: kau tak mau percaya. Atau tak mau peduli?

Kalau pada akhirnya, kenyataan-kenyataan sepele, keengganan untuk mencoba, dan cinta yang selalu kepentok amarah, bikin apa-apa yang dibangun ratusan bahkan ribuan hari selesai begitu saja, lalu buat apa mencinta?

Mungkin hanya sebagai variasi. Segelas minuman yang segera tandas. Senja yang keburu benam. Omong kosong kehidupan. Sumber inspirasi cerpenis melankolis. Alasan untuk air mata yang kebelet turun.

Aku tak tahu apa jawaban sesungguhnya atau jawaban lain yang lebih optimis bagi sebuah pertanyaan untuk cinta. Tak tahu.

I'm stepping out into the great unknown.
“Right to be Wrong”, Joss Stone.[]

Menjelang senja yang memar, kali ini tanpa kamu, seterusnya tanpa kamu
9 Mei 2013

* Judul cerpen Seno Gumira Ajidarma, dari kumpulan cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, GPU, 2008 (vi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar