14 Mei 2013

Pak Hermin

HERMINARTO Sofyan atau Pak Hermin adalah orang Rektorat semasa saya masih bergiat di organisasi kampus. Kerjanya sebagai pembantu rektor 3, sekarang disebut wakil rektor 3, yang mengatasi urusan-urusan kemahasiswaan di UNY. Saya beberapa kali bersinggungan dengan dia, datang ke kantornya, dan pernah dua kali main ke rumahnya bersama teman-teman EKSPRESI. Maret 2012 lalu jabatannya selesai. Dua periode (2004-2012) mengurusi mahasiswa tentulah bukan urusan mudah, apalagi menghadapi segerombolan anak yang selalu mau tahu dan gemar demo. Anehnya, dia tak pernah didemo. Tak pernah.

Bersamaan dengan kabar selesai jabatannya, saya ditawari membantu penulisan buku "kenang-kenangan" dari UNY untuk Pak Hermin. Saya terima. Jadilah saya mengunjungi 10 orang untuk menggali sosok satu itu. Ada yang birokrat, ada yang dosen, ada dosen yang mantan aktivis kampus, serta mahasiswa yang pernah bersinggungan dengan Pak Hermin. Saya juga meminta satu tulisan dari Nisrina soal beliau, serta meliput satu acara perpisahan khusus gawenya anak-anak dari gabungan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UNY.

Iya, dia dibuatkan acara perpisahan khusus. Dapat kado dari masing-masing UKM. UKM Paduan Suara menyanyikan lagu, EKSPRESI menyumbang lukisan bergambar Pak Hermin dan istrinya, UKM Menwa bahkan kasih kado baret ungu yang langsung Pak Hermin pakai.

Saya tak punya kesan khusus dengan beliau selain ingatan bahwa istrinya selalu membungkuskan kue-kue beserta toples-toplesnya saban kami sowan Idul Fitri ke rumah mereka. Rumah mereka tak mewah, saya pikir. Di gang. Ruang tamunya sempit. Tak ada pekarangan. Mobilnya cuma satu.

Setelah banyak wawancara, saya mendapat kesan: bapak satu ini lovable. Dicintai. Bawahannya hormat. Dia tak pernah membentak, tak pernah marah. Tak pernah mengadu satu bawahan dengan bawahan lainnya. Pengertian. Mau memahami orang yang kemampuannya pas-pasan. Tidak arogan. Tahu cara bersikap menghadapi mahasiswa. Kisah dengan Pak Gun, misalnya, orang yang tadinya cuma mbengkel, ngurusi air dan perawatan mesin—kerja-kerja kasar, pokoknya—di Fakultas Teknik, akhirnya bisa jadi kepala bidang yang mengurusi barang bernilai ratusan juta rupiah. Kantornya bagus dan wangi, walau masih berantakan dengan berbagai tumpukan barang peralatan.

Tulisan ini tulisan lama. Kesan wawancara yang saya rangkum. Mungkin, kelak, jika saya jadi orang tua, yang model beginilah yang patut dicontoh. Sungguh, saya pikir, jadi kaya atau terkenal tak berarti apa-apa dibandingkan dicintai banyak orang. Ah, Pak Hermin… Dia bikin saya, untuk pertama kalinya dalam hidup, memuji-muji seorang birokrat.

Catatan Reportase: Si Periang yang Menyanyikan Sepasang Mata Bola

oleh Prima S. W.

NASKAH-naskah dalam buku ini disusun dari berbagai wawancara. Subyeknya adalah orang-orang yang pernah bekerja bersama dengan tokoh utama dalam buku ini, Prof. Herminarto Sofyan. Mereka adalah kolega Pak Hermin, begitu beliau biasa disapa, selama delapan tahun terakhir: dua periode jabatan beliau sebagai Wakil Rektor 3 UNY. Jabatan yang sebelum tahun 2012 disebut Pembantu Rektor 3.

Ketika hendak memulai bincang tanya-jawab, kepada narasumber selalu dijelaskan bahwa ingatan mereka akan digali dan dituliskan dalam sebuah buku kenang-kenangan untuk Pak Hermin. Artinya, Pak Hermin pasti akan membaca ini kelak, setelah semua kisah tersebut mewujud dalam bentuk buku.

Karena sebab ini, kita bisa saja berprasangka bahwa para narasumber akan bercerita yang baik-baik saja; yang indah dan menyanjung jua; atau bahkan bisa saja mengarang-ngarang kesan sehingga kenangan akan beliau yang sesungguhnya tak menyenangkan seakan-akan indah.

Jika membaca kisah-kisah di dalam buku ini, cerita indah memang mendominasi. Namun, bukan berarti kisah itu tidak nyata atau karangan saja.

Rata-rata narasumber menampilkan mimik serupa saat diwawancarai: tersenyum. Pak Rumpis, misalnya, sambil memainkan ponsel di tangan kanannya, terus tersenyum hingga wawancara kami usai setengah jam kemudian. Atau Bu Mami yang ditemui pukul 7 pagi di kantornya. Dengan wajah riang, ia menunjukkan buah tangan dari Pak Hermin yang terpajang di meja kerjanya. Dua buah hiasan meja dari logam bertatahkan tulisan “Malaysia” dan “Australia”.

Pak Pram juga serupa. Ia bilang, Pak Hermin punya jasa besar untuknya. Terutama ketika ia akan melanjutkan studi S3-nya. Bahkan Pak Jumadi yang ketika diam wajahnya agak angker pun jadi berubah menyenangkan. Senyumnya terus mengembang.

Selain dari mimik muka, para narasumber menceritakan kesan-kesan yang sama mengenai Pak Hermin. Wawancara ini dilakukan secara acak, antarmereka tidak tahu siapa saja yang terpilih sebagai narasumber. Jadi, rasanya muskil jika mereka saling mencocokkan cerita terlebih dahulu sebelum diwawacarai.

Beberapa kesan yang sama tentang Pak Hermin: suka membelikan suvenir ketika berpergian menurut Bu Mami, Pak Budi, Pak Bambang. Pak Jumadi dan Pak Bambang seiya bahwa watak kepemimpinannya kolegial. Lalu, hampir semua narasumber sepakat bahwa Pak Hermin adalah pribadi kebapakan dan nyaris tak pernah marah. Sampai-sampai Pak Rumpis, sambil tertawa, menyarankan bahwa sesekali ada perlunya beliau menunjukkan kemarahan. Narasumber dari mahasiswa atau mantan mahasiswa seperti Franky dan Pak Deni juga sependapat: beliau dekat dengan mahasiwa.

Ada beberapa kesamaan persepsi lainnya tentang Pak Hermin. Anda bisa temui itu di lembar-lembar kisah dalam buku ini. Mungkin ceritanya terkesan klise, namun komentar-komentar yang sama, gambaran tentang mimik muka mereka saat bicara tentang sosok satu ini mungkin bisa jadi pertimbangan Anda ketika menanggapi buku ini. Cerita itu kemungkinan besar mengandung kebenaran faktual. Barangkali memang begitulah Pak Hermin. Bapak yang sabar, dekat dengan mahasiswa, suka membawa buah tangan, dan gemar menciptakan situasi nonformal. Misalnya dengan mengirim pesan singkat ala anak muda yang ditambahi “hehehe”—onomatope tawa dalam SMS—seperti yang dikisahkan Nisrina, mantan pegiat UKM.

***

ADA satu wawancara tambahan yang terlalu singkat untuk dituangkan dalam sebuah tulisan mandiri, namun terlalu menarik untuk dibuang. Itulah cerita dari Pak Gunawan Aryantapa, kepala Bidang Umum, Hukum, Tatausaha, dan Perlengkapan UNY. Mulanya Pak Gunawan hanya diwawancarai mengenai Pak Sutrisna Wibawa—yang usai masa jabatannya bersamaan dengan Pak Hermin. Namun, ternyata Pak Gun adalah rekan lama Pak Hermin di Fakultas Teknik. Maka mengalirlah cerita dari Pak Gun yang akan dituturkan berikut ini:

Pak Gun mengenal Pak Hermin sejak mula-mula menjadi pegawai negeri di IKIP Yogya, nama UNY kala itu. Pak Hermin dan Pak Gun berada di rumpun yang sama: jurusan Pendidikan Teknik Mesin. Bedanya, Pak Hermin dosen muda, sedangkan Pak Gun teknisi lulusan STM yang berkutat di bengkel Mesin. Ketika itu awal tahun ’80-an.

Rupa-rupanya, semasa muda Pak Hermin sering pula main di kampung Pak Gun, di Pakem, Sleman. “Dulu Pak Hermin, kan, kosnya di Samirono, dekat masjid,” tutur Pak Gun. Namun beda usia mereka cukup jauh sehingga Pak Gun hanya dengar kabar saja.

Pak Hermin, kata Pak Gun, selama di Mesin kerap menyemangati Pak Gun dan kawan-kawan untuk terus sekolah.”Dia selalu memotivasi kami untuk kuliah, ketika itu kami masih di bengkel,” ujarnya. Berkat beliau pula, Pak Gun dipermudah untuk bisa kuliah D3 di UNY pada tahun 1987. Tahun ’95, Pak Gun kuliah lagi, strata 1, juga berkat beliau yang kala itu menjadi dekan FT. Padahal, kata Pak Gun, saat itu sulit bagi pegawai negeri untuk bekerja sembari kuliah.

Saking dekatnya, Pak Gun mengaku menjadi juru ketik penelitian Pak Hermin. “Pakai tik onthel.” Menurut Pak Gun, Pak Hermin itu sosok periang, suka menyanyi, dan sewaktu muda adalah pemain band. Jika ada acara-acara di FT, ia kerap menyanyi keroncong. Lagu yang biasa ia bawakan: “Sepasang Mata Bola”.

Ada kisah lain. Suatu ketika Pak Gun akan menikah. Saking mindernya, ia tidak berani mengundang dosen dan atasan di kampus. “Akhirnya saya hanya ngundang dekan.” Tiba-tiba di hari-H, beberapa dosen datang. Termasuk Pak Hermin. kejadian ini benar-benar membuat Pak Gun terharu dan merasa sangat berterima kasih. Ketika anak pertama Pak Gun lahir, Pak Hermin juga menjenguk.

Pak Gun merasa banyak diberi dukungan oleh Pak Hermin. Selain soal melanjutkan sekolah, Pak Hermin juga pernah merekomendasikan Pak Gun yang teknisi untuk menjadi dosen. “Dia memberi rekomendasi yang cukup banyak,” kisah Pak Gun. Walau akhirnya Pak Gun ditolak, ia tetap terkesan akan perjuangan Pak Hermin untuknya. Sampai sekarang ia masih menyimpan rekomendasi Pak Hermin dan surat penolakan tersebut. Untuk kenang-kenangannya akan Pak Hermin, barangkali.

Kisah ini adalah pengantar Anda untuk menyelami lebih dalam tentang sosok Pak Hermin. Kisah yang segar dan penuh pelajaran hidup, tentunya. Selamat membaca.

Sepasang mata bola
Seolah-olah berkata
Pergilah pahlawanku
Jangan bimbang ragu
Bersama doaku….[]


1 komentar: