30 Oktober 2013

Problema Nama

Sumber: operationworld.org


GARA-gara konsisten menyebut China /caina/ Metro Tv suka jadi objek guyonan. Sok Inggris.

Tapi masalahnya tak sesederhana langgam yang sok nginggris. Pemerintah RRC ingin orang tidak lagi sebut Cina /cina/, tapi China. Terlebih di Indonesia, sebutan Cina bernada peyoratif. Ada orang Cina, totok maupun peranakan, yang kalau dikatai Cina, agak naik emosinya. Tentu saja kalau yang menyebut begitu adalah orang selain Cina.

Di kalangan orang Cina sendiri, sepanjang yang saya pernah bersinggungan dengannya, tidak pernah menyebut diri sendiri dengan Cina. Orang Tiociu menyebut diri dalam dialek Cina Tiociu sebagai teng nang. Dalam percakapan berbahasa Indonesia, kadang chinese /cainis/. Sedangkan yang non-Cina dalam bahasa Tiociu disebut huannang.

Persoalan tentang mana yang mau dipakai penting juga buat penulis atau wartawan. Tulisan mewakili opini penulis, sekalipun bukan tulisan opini. Penyebutan, pemosisian objek tulisan, menggambarkan perspektif penulis atau medianya.

Ketika Chávez wafat, kita bisa membaca perspektif media yang melansir berita tersebut dari sumber berita yang dikutip. Ini disebut framing analysis. Kantor berita dari Amerika Serikat, yang tak akur dengan Venezuela, sebagaimana dilansir Kompas, menurunkan berita tentang inflasi gila-gilaan negara tersebut karena kebijakan Chávez.

Perbedaan penyebutan RRC juga muncul di tiga media massa besar: Tempo menyebut Cina, Kompas menyebut China, sementara Jawa Pos—yang dekat dengan RRC—menyebut Tiongkok.

Saya sendiri sejak lama memakai China karena ingin toleran. Soal nama saya anggap genting karena bersangkutan dengan hak asasi dan identitas. Bukankah di era posmo, beridentitas adalah hal yang tak mudah. Saya pikir, jika A ingin dipanggil A, itu adalah identitas yang ingin ia bentuk sekaligus hak asasinya. Sebagaimana nama Gabriel Garcìa Màrquez yang seharusnya ditulis seperti orang-orang Kolombia menulisnya. Atau Murakami Haruki yang tak usah dibalik menjadi Haruki Murakami karena mengikuti nalar Barat.[1]

Namun, Minggu lalu, keyakinan saya goyah setelah membaca pendapat Remy Sylado yang diturunkan Tempo.co, 20 Oktober lalu. Ada dua poin dalam keterangan Remy. Pertama, edaran dari Kedubes RRC kepada media massa di Indonesia untuk menggunakan China alih-alih Cina “merupakan pemaksaan yang bersifat politis”. Kedua, China dengan lafal /caina/ merusak bahasa Indonesia dan pemakainya bersikap “sok Inggris”. Lagi pula, kata Cina ada dalam kosa kata penutur asli di RRC.

Berhadapan dengan kalimat “pemaksaan yang bersifat politis” tentu membuat ngeri. Lalu, mana yang harus dipilih?

Menimbang persepsi

Lalu bagaimana persepsi orang RRC sendiri, yang tidak berkepentingan dengan kebijakan politik, soal pemakaian nama tersebut?

Fan Yu, mahasiswa Yunnan Nationalities University yang tengah kuliah bahasa Indonesia di UNY, mengatakan, penyebutan Cina adalah bentukan Jepang. Katanya, ketika okupasi Jepang ke RRC semasas Perang Dunia II, Jepang turut mengubah sejarah RRC. Intervensi ini juga menyangkut nama. Katanya, nama Cina merupakan bagian dari bentukan Jepang tersebut. Dengan begitu, nama Cina mengingatkan pada duka lama yang tidak disukai di RRC.

Hubungan RRC-Jepang sampai saat ini memang masih panas-dingin, sepanas hubungan Indonesia-Belanda kalau sudah menyinggung-nyinggung kasus Rawagede. Kunjungan pejabat Jepang ke Kuil Yasukuni—yang didirikan pemerintah Jepang untuk menghormati “pahlawan” dan korban semasa PD II—misalnya, selalu menimbulkan reaksi marah dari RRC dan Korea Selatan, dua wilayah yang diagresi Jepang dalam PD II. Belum lagi soal kepulauan di Laut China Timur dan kedekatan RRC  kepada Korea Utara yang selalu bisa memanas sewaktu-waktu.

Fan Yu sendiri menambahkan, sesungguhnya orang awam juga tak mengerti betul sejauh mana kebenaran bahwa nama itu bentukan Jepang.

Keterangan Fan Yu ini mengisi bolong dalam pendapat Remy. Sejauh ini, ternyata memang tidak ada yang mengulas alasan RRC yang mempermasalahkan soal nama ini. Benar-tidaknya soal Cina adalah nama bentukan Jepang, saya rasa kita mesti toleran saja. Fan Yu memang tidak benar-benar tahu, tapi jika ia mengamini bahwa men-Cina-kan dirinya setara dengan menghina bangsanya—sebagai taklukan Jepang suatu ketika dulu, maka menyebut negaranya Cina berarti bersikap intoleran.

Penyebutan atau nama memang bukan problema sederhana. Di Indonesia, menyebut G30S/PKI, G30S, Gestapu, atau Gestok saja sudah menujukkan opini kita soal siapa dalang, siapa korban. Atau soal penyebutan “Cina” kepada WNI keturunan maupun orang China yang sudah dinaturalisasi. Dalam Hoakiau di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang memilih menyebut mereka hoakiau menyediakan ruang tersendiri untuk penjelasan penamaan tersebut. Sebab, nama-nama itu punya konsekuensi (yang amat bisa menjadi “politis”).

Jadi kita mau pakai apa?

Fan Yu punya usul, dan saya sepakat. Kenapa tidak kita sebut Tiongkok saja? Atau Tionghoa? Dulu, kita bahkan lebih akrab dengan Tiongkok. Dan sampai sekarang, di mana-mana masih ada yang menyebut Tionghoa. Keduanya bukanlah nama yang telah arkaik.

Bicara nama mungkin terkesan mengawang-awang. Tapi nyatanya, seperti Amin Maalouf siratkan dalam In The Name of Indetity, identitas kita bukanlah darah apa yang mengalir. Ia adalah apa yang dibentuk dan diperjuangkan.

Lalu apa namanya ini, ketika di kelas perkuliahan mahasiswa-mahasiswa Yunnan itu, dosen (orang Indonesia) konsisten menyebut Cina dan para mahasiswanya kukuh melafal /caina/? Mungkin perang identitas; mungkin cuma salah paham yang belum ditengahi dialog.[]

NB:

Ini menarik: saat melihat sekilas film Confusius, Fan Yu menunjukkan bahwa Chow Yun Fat dan Zhou Xun sebenarnya bermarga sama () tapi ditulis dalam ejaan yang berbeda di aksara latin. Karena sudah lebih sering bermain untuk film Hollywood, marga Yun Fat lebih “dibaratkan” untuk memudahkan pengucapan.   




[1] Soal penulisan nama dengan tanda diakritiknya, saya terpengaruh penjelasan Kundera soal sejarah Eropa Barat dan Eropa Timur, ada di novelnya, La Lenteur.

2 komentar:

  1. saya lebih setuju memakai nama China karena nama tsb yang diakui secara internasional. soal rasis atau tidak itu soal tendensi dan penggunaannya dalam 1 kalimat utuh.
    soal China menjadi Cina adalah buatan Jepang, saya kira ini soal pelafalan saja. Jepang kan menyebut China dengan Sino. Mungkin ini akibat propaganda di Sino-Japanese War I dan II.

    BalasHapus