16 November 2013

#5BukuDalamHidupku Dari Mana Datangnya Pegasus?

Film "Sophie's World" yang diangkat dari novel Dunia Sophie.
Keluar di tahun 1999.

Dunia Sophie | Jostein Gaarder | Mizan | Cet. XVIII, November 2006

DALAM kamar gelap, sambil terbujur di ranjang, kadang pikiran-pikiran itu melintas: bagaimana rupa Tuhan? Sampai di mana keluasan semesta? Apakah kita akan sepenuhnya sirna setelah mati? Jika pada akhirnya jawaban-jawaban yang hadir terlalu mengerikan, kadang saya memilih segera tidur.

Jauh sebelum mengenal filsafat, ternyata kita sudah kerap berfilsafat. Seorang kawan pernah bercerita, sewaktu duduk di kelas I SD, ia bertanya pada gurunya, “Malaikat itu laki-laki atau perempuan?” Tak sesusah paparan dalam buku-buku, filsafat justru keluar dari mulut anak kecil.

Hatta dalam Alam Pikiran Yunani juga sependapat. Dalam penjelasannya soal metode filsafat Sokrates, sesungguhnya Sokrates tidak menyusun langkah-langkah yang rumit. Ia hanya terus bertanya, “Apakah berani?”, “Apakah indah?”. Pertanyaan soal apa itu adalah pertanyaan anak kecil, tulis Hatta.

Namun, Sokrates tak selesai dengan satu apa. Ia terus melanjutkan pertanyaannya dengan “apa” yang selanjutnya, selanjutnya. Hingga pada akhirnya ia menemukan definisi yang bisa merangkum satu hal secara utuh dan berlaku di segala kondisi.

Konon, Sokrates berjalan-jalan di kota Athena dan bertanya tentang ini dan itu kepada orang-orang. Ia bertanya “apa itu berani?” kepada prajurit, “apa itu indah?” kepada pematung. Orang-orang yang ia tanyai mula-mula menjawab dengan fasih. Namun ketika pertanyaan terus mengalir, orang itu mulai sadar bahwa yang disangkanya ia tahu banyak, sesungguhnya tak tahu apa-apa. Karena itu maka kebijaksanaan Sokrates terangkum dalam kalimat “satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa aku tak tahu apa-apa”.

Filsafat memang pelik, tapi ia memberi makna bagi hidup (atau kadang, menegaskan bahwa hidup tak bermakna). Belajar filsafat sama dengan meningkatkan kualitas hidup: cogito ergo sum. Tambah lagi, filsafat yang mengkaji persoalan makrokosmos, seperti asal-usul dunia, erat berkaitan dengan ilmu alam.

Makanya, kadang lucu jika yang gandrung pada filsafat justru mahasiswa ilmu sosial atau humaniora. Di tangan mereka, filsafat lebih sering menjadi permainan asumsi.

***
Dunia Sophie mengubah hidup saya.

Buku ini adalah persinggungan saya dengan pertama dengan filsafat. Bab kesukaan saya adalah Hume. Sebagai seorang empirisis—orang yang hanya mau mempercayai apa yang bisa ia indrai, Hume menyelidiki gagasan-gagasan kompleks yang tampaknya tidak berkaitan dengan realitas. Surga, menurut Hume, adalah kumpulan gagasan tunggal yang dijahit menjadi gagasan kompleks, sehingga tampak terpisah dari realitas. Hal-hal yang menyusun surga, seperti jalan-jalan emas, gerbang-gerbang mutiara, dan para malaikat, sebenarnya adalah kumpulan dari gagasan-gagasan tunggal yang terbayangkan oleh kita. Itu adalah jalan, emas, gerbang, mutiara, sosok berpakai putih, sayap.

Pegasus, makhluk mitologi, adalah contoh lain betapa berbagai pengalaman manusia yang disatukan bisa membentuk gambaran yang artifisial. Bayangkan pegasus adalah kolase, maka ia adalah seekor kuda putih yang kita tempeli tanduk berulir. Tambahkanlah banyak gagasan tunggal lainnya, maka citra itu akan semakin kompleks dan terkesan makin jauh dari kenyataan.

Dengan kata lain, Hume menyampaikan bahwa tak ada yang namanya imajinasi murni yang datang sekonyong-konyong berkat ilham dari langit atau dari penjuru otak yang tersembunyi. Imajinasi adalah kumpulan pengalaman yang disusun-bongkar oleh kita.

Bicara tentang Dunia Sophie, buku ini memang luar biasa. Penulisnya, Jostein Gaarder, guru yang mengajar filsafat di SMA, mengantarkan paparan berbagai pemikiran filsafat Barat secara kronologis dalam bentuk kisah seorang gadis cilik bernama Sophie.

Sophie, yang hidup berdua dengan ibunya, suatu kali menerima surat kaleng. Isinya berupa pertanyaan filsafat. Surat ini mengantarkan pertemuannya dengan Alberto Knox, lelaki tua pengirim surat-surat tersebut. Pada akhirnya, Sophie dan Alberto sadar bahwa mereka berdua hanyalah tokoh rekaan dalam imajinasi seorang prajurit PBB. Tapi mereka tak menyerah dan berencana berontak.

Bagaimana caranya dua tokoh cerita berontak pada pengarangnya? Baca saja langsung buku ini. Jika tidak bisa menikmati ceritanya, setidaknya kita bisa tahu dari mana datangnya pegasus. Tapi jujur, saya tak tahu mana yang lebih bagus, pengantar filsafat baratnya yang sederhana atau kisah fiksinya yang dramatis.[]

3 komentar:

  1. Pernah baca Gadis Jeruk, sama-sama karangan Jostein Gaarder. Bagus. Konon sih memang penuh dengan filsafat. Tapi aku lebih menikmati jalan ceritanya sih. Hehehe.
    Dan buku yang ini, bikin penasaran juga pengen baca. Tapi kayaknya kalah sama hasrat kepingin baca trilogi Hunger Games. Hahaha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baca buku filsafat kaya baca buku agama. Bisa mencerahkan, bisa jadi ekstremis. Haha. Pas Hunger Games keluar filmnya, aku gak tertarik. Ada film Jepang yang duluan, isinya persis. Judulnya Battle Royale.

      Hapus
    2. Yang Battle Royale juga sudah nonton. Tapi intrik di Hunger Games lebih hore. Jadi lebih suka HG, meski itu 'keliatan' meniru.

      Hapus