:: Untuk Gita dan percintaannya yang (ia buat) getir.
PERSIS seperti
dua tahun lalu, ketika aku menunggumu keluar dari kantor, hari ini aku duduk di
trotoar. Depan rumahmu. Pagi masih buram. Pukul 5.30. Adakah kamu sedang
mengambil wudu di dalam sana?
Aku sesegar
seorang atlet yang baru selesai pemanasan. Badanku sewangi remaja yang bersiap
untuk kencan pertamanya. Kalau nanti aku bilang kepadamu, aku habis menempuh
perjalanan dengan bus, pesawat, bus lagi, dan taksi nonstop, mungkin kamu tidak
percaya.
Kemarin pagi
aku masih di Kota B. Sekarang aku sudah di depan rumahmu. Rapi dan wangi—mau
kutambahi “ganteng”, takutnya kau marah—sambil mengepit bungkusan di sisi kanan
tubuhku. Bungkusan itu berat, isinya buku yang kubuat khusus untuk merayakan
peringatan kelahiranmu.
Mungkin
massanya cuma 1,5 kg. Ada tiga buku di situ. Kusertakan tiga untuk jaga-jaga.
Barangkali yang pertama, baru lihat sampulnya saja sudah kau bakar. Kan, masih
ada dua. Lalu yang kedua, baru kau baca setengah, sudah kau bakar. Jadi masih
sisa satu, sebab kau mungkin saja penasaran ingin baca sampai selesai. Lalu, dengan
kesal yang sudah menguap ke mana, kau tandas membacanya, menutup sampul
belakang dan meletakkannya di dadamu, sambil senyum-senyum kecil. “Laki-laki
ini kalau di tulisan selalu saja romantis.”
Adakah hukum
relativitas untuk berat? Ataukah di tempatku berpijak gravitasinya lebih dari
yang seharusnya? Buku ini jadi berat. Semakin dekat rumahmu, langkahku juga
makin seret. Semakin pendek jarak kita, semakin banyak kenangan yang
menyergapku, semakin banyak kenangan yang menggelayutiku.
Aku membuka
ponsel. Membunuh waktu dengan membaca apa saja yang mampir di timeline Twitter. Sialan, debar
jantungku makin riuh. Jadi tidak konsen. Ponsel kembali kumasukkan ke saku.
Sudah setengah
jam. Seorang perempuan tadi keluar dari rumahmu. Cuma buang sampah. Aku sempat
berdesir, kukira kamu.
Ini hari
Minggu. Apakah kamu akan tidur sampai siang?
Kalau sekarang
aku di B., aku biasa juga tidur sampai siang di hari Minggu. Senin sampai
Jumat, aku sering kurang tidur. Banyak begadang, bangun pagi. Lalu kerja. Lalu
pulang. Lalu makan. Lalu mandi. Lalu begadang lagi. Tidak hampa-hampa amat,
hanya saja ada yang kurang.
Kalau saja
kita masih bisa bercerita-cerita macam dulu, hidupku jadi lebih lengkap. Lebih
berwarna, kata sebuah iklan.
Tukang sayur
lewat. Seorang perempuan. Dia menatapku sekilas, lalu berteriak, “Sayuuuuur.”
Kok, dia tidak mampir di depan rumahmu? Kalau iya, mungkin ada orang rumah yang
akan keluar sehingga aku bisa minta tolong dia memanggilkanmu. Sayang sekali.
Satu jam
lewat. Aku mulai merasa konyol. Apa bukunya kutaruh di kotak pos saja? Tapi aku
rindu. Aku tidak mau jadi bodoh karena tidak sabar. Kalau bukunya kutaruh, lalu
aku pergi, lalu lima menit kemudian kamu keluar, aku akan jadi orang paling
goblok sedunia hanya karena tidak sabaran.
Tenang, Git, sudah
bertahun-tahun. Kalau cuma sehari, itu kecil.
Suara pintu
garasi dibuka. Aku melongok. Tidak ada yang tampak. Rupanya Cuma hendak
memanaskan mobil. Eh, jangan-jangan itu
kamu?
Aku beranjak
supaya bisa melihat lebih dekat, siapa yang ada di garasi. Orangnya masih di
dalam mobil. Menyetel musik. Ia cuma tampak dari belakang. Asuuuuu, rambutnya adalah rambutmu. Bisa jadi kamu. Jantungku mulai
malih jadi orkes. Dum, dum, dum.
Serombongan tim hore dari Dahsyat sekarang duduk di bangku-bangku yang berjejer
antara bilik kiri dan bilik kanan jantung. Dengan pom-pom mereka berseru, ye ye ye, la la la. Sendi-sendiku mulai
dirambati tremor.
Sosok itu
menoleh ke kanan. Sial, kaca mobil terlalu gelap. Aku tidak bisa yakin, itu
kamu atau bukan. Ingin kupanggil, “Hey!” begitu, tapi kalau salah, takut
kecele. Nanti diusir pula.
Aku bersandar
di tiang gerbang rumahmu. Gerbang ditutup. Mataku menancap pada sosok di mobil.
Keluarlah, keluarlah, aku
berkomat-kamit.
Ia bergeser ke
kiri. Ya! Dia keluar!
“Nia!” aku
berseru agak keras. Dia kaget. Brengsek, bukan kamu.
“Ada apa, ya?”
dia menyapa. Dia lebih tua darimu sepertinya. Cuma perawakannya mirip. Aku
setengah mati menahan diri agar tidak salah tingkah sementara dia berjalan
mendekatiku.
“Nia-nya ada,
Mbak?” aku mencoba cool.
Dia agar
curiga, tapi menjawab juga. “Temannya Nia?”
“Iya.”
“Sudah
janjian?”
“Belum. HP
saya mati. Ini mau mengantar barang,” aku bohong.
“Lia sedang
keluar kota. Katanya, sih, hari ini balik. Ada acara kantor dari Kamis sampai
Jumat kemarin.”
Sejenak,
kalimat-kalimat nasihat dari kawan-kawanku silih ganti terngiang. “Ngapain
nunggu-nunggu? Kayak orang bego aja!”, “Masih Nia? Ya ampun!”, “Git, kukenalin
sama ini mau gak?”, “Asyu, fosil gak bisa move
on”.
Rasanya lemas.
Aku mengucapkan terima kasih dan menolak tawaran perempuan itu untuk
meninggalkan bawaanku. Juga untuk mampir. Katanya kamu akan pulang hari ini. Tidak,
terima kasih. Aku poskan saja. Semua rusak. Bayangan rusak. Rencana kacau.
Inilah akibat dari menunggu.
Langkahku jadi
gontai. Berbeda 180 derajat dengan saat berangkat tadi. Kepalaku kosong.
Rasanya ingin tidur. Rasanya semua lelah kini datang semua. Rasanya ingin tidak
bekerja sebulan dan hanya tidur-tiduran di kamar sambil baca buku. Rasanya
ingin menangis.
Butuh lima
belas menit untuk langkah gontai yang baru saja patah hati (lagi) agar mencapai
pintu gerbang kompleks. Aku berhenti sebentar, menunggu sebuah mobil tengah
melewati pos satpam. Supirnya pura-pura akrab dengan menyapa basa-basi ke
satpamnya—yang kelihatan baru bangun tidur. Sarungnya masih di leher. Aku juga
ngantuk. Tanpa sadar, aku menguap.
Mobil itu
lewat. Aku lanjut jalan. Di mana selokan? Patah hati tadi sudah berubah menjadi
kecewa. Sebentar lagi akan alih wujud jadi marah. Buku yang kubawa ingin
kulempar ke selokan. Ini dada pelan-pelan penuh dengan penyesalan dan
penyesalan.
Di waktu
kemudian, aku membayangkan kejadian ini seperti pertemuan dalam cerpen
Murakami, “Gadis yang Seratus Persen Sempurna”.
Sebuah suara
datang dari belakang, memecah pagi, memecah hariku, seperti tsunami yang
menyapu bersih semua kesal.
“Gita!”
Aku menengok
ke belakang. Itu kamu. Itu kamu! Hatiku menjerit. Kamu di sana, melongok keluar
dari jendela mobil. Senyummu hari itu adalah senyum yang seratus persen
sempurna.
Tanganmu melambai
memanggilku datang. Detik itu, aku bukan Gita Wiryawan yang gemar mengutip dan
punya banyak follower di Twitter. Aku
detik itu adalah laki-laki yang jatuh cinta lagi dari nol. Dengan berlari, aku
datang kepadamu.
Aku bertemu
dengan Nia yang senyumnya yang seratus persen sempurna pagi itu. Delapan Juni
dua ribu empat belas.[]
Yogya, 15 Mei
2014
15 Mei untuk 8 Juni? time traveler?
BalasHapusTrus prim?
BalasHapus