Penampilan Payung Teduh dalam "Resah".
MENGENAL Payung Teduh di akhir
tahun 2011, tak butuh waktu panjang untuk menyukai
band ini. Tak lama berkutat dengan album pertama dan satu-satunya milik mereka
yang dijuduli sama, Payung Teduh—album
yang memang luar biasa—tanggal 2 Desember di tahun yang sama, extended play (EP) mereka dirilis di Coffeewar, Kemang, Jakarta.
Titelnya Dunia Batas.
Album kedua lahir dengan campur tangan Ramondo Gascaro, personel Sore, band yang sebelumnya sudah punya
rekam jejak bagus. Setelah mendengarkan EP ini, banyak orang bilang bahwa
pengaruh Sore kentara sekali. Is dalam wawancaranya dengan Rolling Stone mengiyakan. Malah menegaskan. Kata Is, ia biasa
seharian mendengarkan berkali-kali track
“Setengah Lima” dari album Ports of Lima.
Yang mengejutkan, salah satu entri baru Dunia
Batas, “Menuju Senja”, digubah Is sebagai lanjutan dari “Setengah Lima” itu
sendiri.
Pendengar mungkin akhirnya bisa mengangguk-anggukkan kepala kini saat merasakan betapa miripnya pembuka “Setengah Lima” dan “Menuju Senja”. Korelasi antara Sore (hari) dan “Setengah Lima” mungkin memang logis, sehingga Is berani menggubah “Menuju Senja” tanpa harus kelihatan konyol. Sebab “Setengah Lima” bisa juga hadir di pagi hari.
Dunia Batas, meski dengan campur tangan Mondo yang dikagumi oleh Payung
Teduh, bagi saya tak sebagus album pertama. Ia telah kehilangan jati diri,
mungkin. Dan kesederhanaannya.
***
Saya melihat Payung Teduh 13 Oktober malam, tahun ini. di
Taman Lumbini, Candi Borobudur. Ini pertama kalinya mereka menyanyi di sekitar Jogja. Menunggu
sejak pukul 8 malam, Payung Teduh baru muncul di panggung pukul 8.45. Ini acara
orang lain memang, bukan murni konser musik. Yang
mengadakan Green Peace Indonesia, tajuknya: Solarizing Borobudur. Payung Teduh
cuma bintang tamu penghibur—yang justru menyebabkan saya dan kawan-kawan datang
ke sana.
Is, vokalis, malam itu pakai kaus
hitam dan sarung ungu, tanpa alas kaki. Ia yang berpakaian paling nyentrik. Sementara Ivan, si pemegang ukelele, berkaus hitam, Comi
berkemeja putih, dan Cito pakai kaus abu-abu dan topi saja. Mereka semua
bilang, ini pertama kalinya mereka ke Jogja—meski sebenarnya Borobudur ada di
Magelang, Jawa Tengah. Tanpa banyak cingcong, lagu pertama
yang membuat siapa saja sontak bertepuk tangan dimainkan: “Angin Pujaan Hujan”.
Anthem dari album debut mereka.
Mengagumi album pertama yang terkesan
dibuat sekadar untuk senang-senang, sebab bunyi rekamannya yang begitu asli,
saya merasa antara bebunyian dalam rekaman dan “Angin Pujaan Hujan” yang tengah
dinyanyikan Is di depan saya langsung tak beda jauh. Payung Teduh memang agak
membosankan jika terlalu sering didengar, namun ia memang indah. Meneduhkan.
Lagu kedua adalah “Kita
adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan” yang
membuat siapa saja yang pernah patah hati pasti menjadi sendu. Malam itu memang
agak mendung, dan Is akan jahat sekali jika membuat suasana terus-menerus
seperti ini. Untung saja tidak, sebab lagu ketiga adalah “Untuk Perempuan yang
Sedang dalam Pelukan”. Kalau saya laki-laki atau lesbian, maka lagu ini adalah salah satu lagu andalan untuk merayu. Sungguh.
Lagu selanjutnya adalah “Berdua
Saja”. Dari awal Is hanya diam, membiarkan kami, para penonton, menyanyi
sendiri. Di lirik “untuk datang/membawa jawaban” baru ia bersuara. Comi
sesekali bermain-main dengan contrabass-nya. Band ini memang cocok memainkan
musik kamar saja, musik yang ditujukan untuk segelintir orang dalam ruangan kecil.
Dan sepertinya mereka biasa bermain dengan suasana begitu: suasana café kecil.
Is sering bercanda dengan yang lain-lain. Atau Comi yang saat track yang tak butuh petikannya lalu
leyeh-leyeh sambil duduk selonjor di lantai. Seakan-akan kami penonton adalah
teman-temannya sendiri yang sudah sering bertemu, atau justru kami dianggap tak
ada.
Lagu-lagu lembut sudah lewat. Kalau
begini terus, bisa-bisa kami tertidur. Maka pas sekali saat kemudian “Menuju
Senja” dimainkan. Temponya cepat sejak petikan pertama. Lebih bersemangat. Ini
lagu terbaik dari album kedua. Sayangnya, semangat itu, yang berlanjut hingga
lagu selanjutnya, “Tidurlah”, harus diputus. Lagu ini adalah lagu terakhir. Persisnya
saya lupa berapa lagu yang mereka bawakan.
Semua orang protes—kecuali panitia,
tentu saja. Tapi mereka tetap bubar, turun panggung, dan sebagian orang
mengemasi alat-alat. Kami tak langsung pulang, namun menyerbu empat orang yang
baru saja memukau tadi. Setelah jabat tangan dan foto bersama Ivan dan Cito,
tiba-tiba semua orang berkumpul di belakang panggung. Dalam pengalaman saya
menonton konser, ini pertama kalinya saya melihat yang semacam ini.
Mereka berempat melanjutkan
pertunjukan!
Ya, di belakang panggung. Akustikan. Saat
itu pukul 21.40 dan kemudian tanpa lampu—karena tak lama kemudian lampu dipadamkan
panitia. Yang menonton duduk bersila di rumput, Payung Teduh di depan kami, di
atas kursi. Dekat sekali. Jika hari terang, sebenarnya akan tampak candi megah
Borobudur tepat di belakang Is dan kawan-kawan.
Kali ini Is membawakan “Biarkan”.
Jujur, saya tak begitu suka album mereka yang kedua. Jika album pertama sempat
saya putar terus-menerus selama beberapa minggu, Dunia Batas tak diperlakukan sampai seperempatnya. Tapi Is yang di
depan saya–hanya 5 meter jaraknya—menyanyikan “Biarkan” membuat lagu itu lima
kali lebih indah. Betul-betul indah. Begitu pula lagu selanjutnya, “Rahasia”.
Sejak masih di panggung, setiap kali
satu lagu selesai, selalu ada suara yang riuh meminta “Cerita Gunung dan Laut”
dibawakan. Lagu itulah yang kemudian diberikan: lagu terakhir dari kunjungan
singkat Payung Teduh di Magelang.
***
Setahu saya, jika ingin menampilkan
Payung Teduh di Jogja, tarifnya 6 juta. Itu untuk 6 orang: 4 personel dan 2
pendamping. Belum termasuk akomodasi. Kalau saya akan menikah dalam waktu
dekat, saya yakin saya akan membela-belakan diri mengundang mereka. Itulah
pemujaan saya yang agak berlebihan pada band ini. Bahkan ketika saya ke
Jakarta, sepuluh hari kemudian, saya mencari tempat yang disebut-sebut merupakan
lokasi mereka menyanyi sebelum jadi profesional: tepi danau kompleks
Universitas Indonesia, Depok. Sesampainya di sana, melihat hamparan rumput yang
bersisian dengan danau, saya nyaris gila membayangkan band sekeren Payung Teduh
bisa ditemui sedang iseng-iseng akustikan sementara kita tengah istirahat
antara jeda kuliah. Gratis pula.
Sama seperti tujuan mereka yang Comi
sampaikan pada wawancaranya dengan Rolling
Stone, itu pula yang saya temukan saat melihat mereka langsung dari dekat. Menenangkan. Hanya saja mereka tak bagus dikonsumsi terlalu banyak oleh... orang yang tengah patah hati. Hahaha.[]
suka juga payung teduh...
BalasHapusHalooo.. mbak Primaaaa..
BalasHapusGa sengaja saya mampir ke blog mbak ini. Tujuan awalnya cuma satu: mencari informasi tentang biaya mengundang Payung Teduh!
Hehehe..
Seperti mbak, saya juga punya mimpi mengundang mereka mengisi acara resepsi pernikahan saya. Hehe..
Saya juga seperti mbak-mbak sekalian, kepo berapa biaya mendatangkan payung teduh di pernikahan saya (sekarang masih jomb sih haha)
BalasHapusAssalamu'alaikum mba, kira kira untuk biaya keseluruhanny berapa ya? Saya ingin mendatangkan payung teduh ke pernikahan saya hehe
BalasHapus