17 Oktober 2009

Ajeng dan Tempat Pensil Kaleng

TAK hendak dikata jahat bila saya samakan seorang kawan dengan tempat pensil. Ajeng, teman sekelas kala kelas XI, dia orangnya. Begitu saja, selalu terlintas wajahnya dalam benak saya setiap kali saya melihat tempat pensil kaleng.
Saya juga tak hendak dikata menyindir Ajeng yang memang cerewet dan suaranya keras sehingga patut dipadan-padankan dengan kaleng. Tempat pensil kaleng yang saya maksud benar-benar harafiah, ya tempat pensil kaleng.

Bagaimana Ajeng = tempat pensil kaleng, atau sebaliknya, beginilah kisahnya.

Saya memasuki kelas XI IIA 6 dengan syak wasangka berlebihan. Dalam ruangan di pojok sekolah yang disahkan sebagai ruang kelas kami, sebelum sistem moving class kembali dijalankan, saya merasa hanya berdua dengan Wisti yang setia mengawani saya duduk sebangku dari kelas X. Bagaikan berada dalam ruang gelap yang lampu sorotnya menerangi hanya kami berdua, kami merasa jadi orang terkonyol di kelas itu. Bagaimana tidak, jejeran siswa di kanan, kiri, dan depan kami adalah manusia unggulan yang diciptakan Tuhan dengan segala kenikmatannya: ada yang pintar, ada yang kaya, ada yang cantik dan tampan, ada yang berprestasi. Empat standar ideal anak SMA. Sindrom rendah diri melanda kami.

Masih terikat dengan teman-teman lama di kelas X, saya selalu memaksa Wisti minggat ke kelas lain waktu istirahat alih-alih berusaha berkenalan dengan teman lainnya. Wisti enggan sebenarnya, saya tahu itu, tapi ia lebih enggan lagi beradu mulut dengan saya. Dalam beberapa hal dalam pertemanan kami, saya mendominasi memang. Maafkan saya, Wis.

Suatu hari, saya terjebak di laboraturium kimia yang gurunya, bukanlah saya sok ikut tren buku remaja yang kerap mengatai guru eksak galak bin seram, tapi guru kimia ini memang luar biasa galaknya. Kami dibagi-bagi menjadi kelompok dan saya terpisah dari belahan jiwa saya, biji mata saya, air kehidupan saya, Nona Tri Suwisti.

Kini kami duduk berhadap-hadapan dalam satu kelompok. Di samping saya adalah Ajeng, tokoh cerita ini. Rambutnya ikal, saya tak iri, badannya sintal, pun saya tak iri, tapi matanya yang besar, lumayan bikin patah hati. Duduk di sampingnya serasa tak ada teman pria yang akan melirik saya.

Dia boleh cantik, tapi otak boleh saya kata kami sama rata. Dan dandanannya, alamak, masih kekanakan. Pakai sweater garis-garis putih-hitam-oranye. Pakai tas merek terkenal-mahal, merah maroon warnanya. Matanya yang besar (sok) polos dan jalannya yang jauh dari kesan wanita anggun, buat saya berpikir, “anak TK nyasar ke SMA, ini orang.”

Di meja, modul kami berjejer selip-menyelip dengan peralatan tulis serta alat percobaan. Nah, inilah dia, tempat pensil kaleng besar bertingkat dua yang sedang ia buka di hadapannya menggelitik rasa ingin tahu saya. Lupa gengsi untuk menciptakan imej anak pendiam yang pintar, saya tanya dia.

“Jeng, kok tempat pensilnya dari kaleng?”

Jawabannya kelak yang akan membuat saya selalu menyinonimkannya dengan tempat pensil kaleng, bahkan lewat 3 tahun lebih kami berkawan dan ia sudah jauh berbeda.

“Supaya nggak sepi. Kalau kujatuhkan, kan bunyinya ramai.”

Sungguh, ia memang anak TK yang nyasar ke SMA, kala itu.

• Kini Ajeng sudah 180 derajat, kecuali gaya bicaranya yang sarkas, berubah dari masa saya awal kenal dia. Semakin cantik dan sudah lebih anggun et pintar. Kalau dewasa, mungkin sedang dalam arah kesana. Dan pasti sudah tercatat di Lauhul Mahfudz sebagai takdir yang takkan berubah, bahwa usai ia membaca ketikan ini dan menemukan kata-kata pujian, ia akan menjelma jadi Narcissus yang dikutuk jadi bunga daffodil. Lalu ia menuliskan komen-komen atas tulisan ini yang akan bikin saya separuh menyesal sudah menulis pujian untuknya, seberapa pun tulusnya itu.

Pwt, 27 Ag 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar