18 Oktober 2009

L’Imagination du Café

Sumber

TIDUR adalah ciri biologis manusia. Ibu sering bilang “mau jadi manusia setengah dewa apa?” saat memarahi anak-anaknya yang gemar begadang. Tapi, suka tidur itu penyakit. Dan itu penyakit saya. Semilir angin, acara yang membosankan, kuliah yang diisi ceramah panjang, nonton film, mendengarkan lagu, pikiran kosong, atau sedang kurang kerjaan, maka saya akan mengantuk. Paling berbahaya tentu ketika sedang nyetir motor. Saya selalu pulang ke rumah naik motor di sore hari, ketika angin hangat menampar-nampar wajah dibalik kaca helm dan sinar matahari yang mulai menggelincir ke barat (celakanya saya menuju ke barat juga) menusuk mata, menyilaukan, sehingga mata yang kritis ini harus menyipit. Saya selalu ngantuk di perjalanan.

Awal memulai rutinitas nunggang motor Jogja-Purwokerto, saya belum menemukan formula untuk mengatasi “penyakit mata” ini. Ditambah-tambah dengan sifat ndableg alang kepalang –sudah tahu ngantuk masih saja pulang sore, atau malamnya begadang—perjalanan solo bermotor itu terus dibayangi malaikat Izrail. Perihal ini, saya tak pernah bercerita kepada siapapun, bersyukur ketika saya merilis catatan ini di situs-curhat-di-dunia-maya, ibu tak akan membacanya (sesungguhnya ia punya ketertarikan yang besar pada Facebook berkat promosi di TV, tapi anak-anaknya cukup bijak untuk tidak menggali kubur sendiri dengan mengantarkannya ke warnet dekat rumah sekadar membuat akun Facebook). Kalau ia sampai tahu, wah, SIM pasti diambilnya!

Tiga empat kali setelah melewati perjalanan marabahaya, los dari malaikat maut, saya pun tahu cara mengatasi ngantuk ini. Klasik sekali: kopi! Setiap kali mata ini mulai –tambah-- menyipit (dan biasanya setiap setengah jam awal perjalanan), lekas-lekas mencari minimarket terdekat untuk beli kopi instan kalengan. Kronologinya kurang lebih begini:

Dengan dandanan seorang rider, saya menggas motor pada kecepatan 80 km/ jam. Berbekal motor pabrikan perusahaan Jepang, tas ransel yang kelewat penuh oleh barang-barang remeh-temeh, slayer hitam menutupi mulut dan hidung, helm hitam kesayangan (oi, helm itu hilang di EKSPRESI, tolong kembalikan! Ada imbalan yang pantas), sepatu kets multifungsi (untuk kuliah, berpergian jarak jauh, lempar anjing, atau ganjal pintu), jam tangan, handphone yang diselipkan antara helm dan telinga sambil memutar lagu (headset saya anggap tidak efisien), sarung tangan hijau, dan jaket tebal yang dibeli saat kelas 1 SMA (dan dipaksa-paksakan agar tetap muat hingga sekarang), entah kenapa saya merasa sangat KEREN! Baru semenit saya berpikir bahwa saya: gadis 18 tahun yang mandiri, bersemangat, dan suka tantangan , adalah satu-satunya “pembalap” wanita di jalan Jogja-Wates, tiba-tiba seorang gadis SMP tanpa helm melewati saya dengan kecepatan yang membuat mata saya kelilipan –di samping saya malaikat Rakib dan Atib berkata, “nyaho’ lu! Banyak gaya sih jadi orang”--. Dan niat memulai karir sebagai pembalap minimal menyamai Alexandra Asmasubroto, kandas!

Kini, si rider ini berjalan dengan kecepatan konstan. Sinar matahari stagnan di hadapan. Dan silir-silir melenakan. Hoahem…dan mata ini mulai terpejam. Upz, pikir saya. Refleks mata langsung menyisir kanan-kiri jalan mencari mini market. Lima ratus meter kemudian saya temukan. Dengan gaya biker handal, saya parkirkan motor dan turun dengan gerak perlahan tapi meyakinkan. Sambil membuka helm dan menyibakkan rambut ala bintang iklan shampo, saya membuka slayer sambil melangkah masuk. Semua adegan dalam bentuk slow motion diiringi “Take a look around” dari Limp Bizkit dan diakhiri “Mandi Kembang” dari Caca Handika.

Satu kaleng tandas dan perjalanan dimulai lagi.

Entah kenapa, usai minum cairan biji Arabika campur latte itu saya selalu fly. Memang tidak elit kedengarannya mengatakan bahwa saya sakaw semata-mata karena minum kopi. Tapi kenyataannya, saya langsung berimajinasi yang bukan-bukan (dan menyenangkan) di sisa perjalanan. Banyak ide-ide yang tumpah sehingga saya kesulitan memungutinya untuk dicatat dalam bank tema. dalam pengaruh kopi itu saya memikirkan soal Jepang dan Islam, Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik, insentif universitas terhadap mahasiswa, schizofrenia, kebahagiaan, hingga soal mebuat cap tangan di tanah liat setiap saya ulang tahun.

Terakhir perjalanan pulang saya berimajinasi tentang Andrea Hirata. Si kriting yang menyihir saya dan ibu. Hendak menjabarkan detail khayalan saya itu saya tak tega, karena pastinya akan mengundang segala bentuk afeksi yang memberatkan timbangan kejahatan yang membacanya saat Yaumul Hisab nanti. Jadi kurang lebihnya saja yang saya gambarkan.

Suatu hari saya add Andrea via Facebook; saya meminta ia untuk datang ke rumah saya; karena Andrea punya ketertarikan yang tidak wajar dan cenderung kompulsif pada wanita Tionghoa, ia menyanggupinya, sekalipun kami baru kenal, di FB pula; Andrea datang ke rumah saya; Andrea senang dengan suasana keluarga kami, kota kami, dan saya (hahay!); ibu saya yang punya obsesi punya menantu orang beken merayu-rayunya untuk menikahi saya; dalam hati saya malu-malu-mau; rupanya gayung bersambut, Andrea rupanya naksir saya pada pandangan pertama (hahay! #2); kami menikah; kami tinggal di Babel, punya rumah panggung mungil berwarna kuning yang asri; saya dan Andrea adalah pasangan yang sangat berbahagia; andrea adalah suami yang romantis dengan cerpen khusus untuk saya setiap bangun tidur.

Casu quo, entah kopi, daya imajinasi yang demikian dahsyat, atau saya suspek gila. Who cares?[]

Jogja, 14 oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar