18 Oktober 2009

Rumah Idaman

Sebelum memasuki pekarangan rumah berwarna kuning pucat itu, kau harus membuka pintu pagarnya dulu. Pagar kayu sepinggang orang dewasa itu catnya masih baru, abu-abu. Untuk pemukiman seperti ini, pagar hanya pembatas pekarangan saja fungsinya.

Kau tahu rasanya masuk Jardin Versailles yang terkenal itu? Tentu tak bisa dibandingkan dengan taman ini yang di muka rumah luasnya hanya12 meter, dan di samping kanan kiri rumah lebarnya hanya 30 - 40 jengkal anak SMP. Tapi, asrinya buat pemilik rumah tak suka berpergian. Taman seluas itu saja ada tiga pohon tumbuh di atasnya. Pokok nangka di pojok yang daunnya buat empunya rumah berolahraga tiap pagi dengan sapu lidi di tangan. Nangka memang buruk dilihat, tapi besar manfaatnya. Untuk netralisir, pokok cemara ada di pojok lain halaman rumah. Tapi jangan kau kira itu ada tendensi agama tertentu, karena itu salah.

Entah bisa dikata satu pohon ini bisa dianggap pohonkah, karena pisang begitu mudahnya tumbuh sehingga tak begitu dianggap. Tapi, lihatlah kalau wanita yang mendiami rumah itu mau mengukus nagasari kesukaannya, atau mengalas tampa rotan, cukup hanya melangkah dari pintu samping, dan sret sret. Dapatlah ia daun pisang. Lebih lagi kalau belum sempat ia membeli pisang pengisi nagasarinya, atau bahan pemanis kolak. Kalau tak pandang keindahan, wanita itu sudah membabat cemara di halaman untuk digantikan pisang.

Suaminya sering dengar selintas nama-nama rumput: teki, jepang, italia. Tapi, ia tak tahu rumput apakah yang berhasil ia tumbuhkan di halaman itu. Sudah syukur rumput itu mau menghijau setelah dicangkok dari halaman sekolah. Niatnya, anaknya tak perlu bersandal untuk hanya lari-lari atau memanjat nagka di depan rumah. Juga menyelarasi mawar-melati-aster-krisan di pot-pot dan polibek-polibek kecil di teras rumah. Krisan yang acap jadi kado ulang tahun pernikahan ke-20 jadi doa agar suami istri penghuni rumah itu awet pernikahannya.

Waktu rumah ini hendak dibangun, istri merajuk karena inginnya rumah itu berlantai kayu tak disetujui suami. Mahal, alasannya. Istri berteriak, habiskan tabunganku tak mengapa, asal kayu! Istri yang kalau marah jadi semakin cantik seperti istri-istri ksatria pandawa buat suami luluh hatinya. Kini lantai kayu rumah itu semakin mengilat karena digosok tiap pagi.

Dari teras, dinding semen itu beralih warna jadi biru langit di ruang tamu sekaligus ruang keluarga pun ruang makan. Tiga kali tiga meter sudah cukuplah untuk semua itu, toh tak tiap hari ada tamu, istrinya berkata. Sengaja ingin buat istrinya marah –agar cantiknya bertambah-, suami bilang, mau kau kita sedang nonton berdua lalu ada tamu nyelonong masuk dan lihat kita? Nah, benar, istri merajuk lagi. Marah lagi. Cantik lagi.

Dua kamar di sisi kanan kiri ruang tamu, yang satu kamar tidur empunya rumah. Juga tiga kali tiga meter luasnya. Warnanya mereka sepakatkan putih. Tadinya istri –lagi-lagi- maukan ungu, tapi suami yang buta warna protes kamar mereka jadi norak sekali dengan pink. Alhasil, mereka berdamai dengan putih, bagaimanapun itu kamar bersama hingga akhir hayat, niat mereka. Lagipula lebih terang rasanya saat membaca tumpukan buku yang raknya di seberang ranjang.

Kamar di sisi lainnya sama saja ukurannya. Di kamar ini jadilah ungu dipakai. Ada ranjang kali-kali ada tamu datang menginap. Kamar itu semakin sesak jadinya dengan meja seterika, tumpukan baju bersih, dan barang-barang yang kadang dipakai. Kamar itu, terlalu bersih untuk dibilang gudang dan terlalu berantakan untuk dibilang kamar tidur.

Sederhana dan kecil saja rumah itu. Hanya ada enam ruang yang kecil-kecil. Antaranya pun tak beliku-liku seperti labirin. Lurus dari ruang tamu, masuklah ke dapur, belok kiri dari dapur itu kamar mandi dan toilet. Dapurnya bersih penanda istrinya orang beriman. Tak aneh-aneh peralatan di dapur itu, hanya ada lemari pendingin dan kompor gas. Mereka tak perlu microwave atau pemanggang roti. Sebenarnya ada mixer, blender, dan oven pemanggang yang diletakkan tersembunyi. Tapi itu masih standar. Dapur ini hijau warnanya. Tanpa perdebatan, karena catnya pemberian seorang kawan baik hati yang tahu mereka sedang mengecat rumah dan terlalu fanatik hijau sehingga merasa semua orang di dunia juga suka hijau.

Kamar mandi dan toilet krem warnanya. Pilihan suami karena istri sedang kelelahan saat mereka memutuskan mengecat kamar mandi dan toilet. Ia bangun dan langsung mandi karena hawanya gerah, tanpa mencerewetkan warna itu. Yang belum suaminya ketahui di bulan pertama pernikahan mereka adalah, setelah merah sebagai warna favorit istri, krem adalah selanjutnya.

Sebenarnya masih ada beberapa jengkal tanah di belakang, keluar dari dapur. Tapi dipakai untuk sumur timba dan tali-tali jemuran. Soal sumur timba bukannya ledeng atau mesin-sedot air, tak ada perdebatan antara mereka. Mereka tak menganggarkan biaya fitness atau klub kesehatan, juga alat olahraga pribadi. Sumur itu, sebagaimana pohon nangka depan rumah, jadi pengencang otot tiap hari. Juga lebih berseni, kata suami. Entah apa maksudnya.

Suami memanggil istrinya Poppy, tak ada sangkut pautnya dengan nama istri. Poppy itu maknanya penghibur, kisah sang suami yang baru saja membuka jurnal The Society of American Florist. Kau adalah penghibur bagiku, kata suami yang mendadak jadi seperti orang yang hidup di Inggris era Victoria --saat itu orang lebih banyak menggunakan simbol dan isyarat ketimbang kata-kata. Poppy tersenyum malu sehingga jadi lebih cantik daripada saat ia marah.

Narasi ini selesai dibuat Gustav usai berkurung diri di kamar sejak makan siang, tepat saat ibunya memanggil untuk minum teh sore hari. Narasi ini ditulis tangan di bawah gambar rancangan rumah mungil berwarna kuning. Ia sudah menyusun skenario hidupnya. Di usia 40 tahun, arsitek kebanggaan keluarga ini jadi terlalu imajinatif walau tetap praktis. Rumah kuning itu telah benar-benar ada, beserta pohon nangka, cemara, dan pisang. Tak luput sumur timba, rumput halaman, dan tali jemuran. Ibunya membantu menanamkan bunga warna-warni dalam polibek. Hanya Poppy yang terlupa.[]

Pwt, 27 Agustus 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar