18 Oktober 2009

Serang Ga?

Entah mengapa malam ini aku merasa dekat dengan serangga.

Di tengah perjalanan berjam-jam ke kampung halaman dengan sepeda motor, aku melihat pemandangan yang indah. Dua lampu penerang jalan yang berjejer tampak seperti shower yang mencurahkan ribuan laron dalam balutan cahaya kuning-oranye.

Ya, laron.
Muncul di malam-malam lembab, hewan kecil ini begitu menyebalkan. Sayap-sayapnya terlalu rapuh dan gampang meranggas mengotori rumah, susah disapu pula.

Mereka mendekati sumber cahaya, merubungnya, dan… entah apa yang mereka lakukan.

Iya ya, seumur hidupku aku tak pernah tahu dan menanyakan mengapa laron muncul saat malam lembab, merubungi sumber cahaya, gugur sayapnya lalu mati?

Guru Biologi telah bilang alasan mengapa kura-kura menangis atau ikan laut yang lebih amis, tapi tidak dengan laron. Padahal kami tinggal di kaki gunung yang jarang melihat kura-kura atau makan ikan laut. Tapi paling tidak dalam setahun lebih dari tiga kali rumahku hujan laron, juga lampu pinggir jalan depan rumah.

Kenapa?

Akan kucari, aku janji.

Dan kemudian aku pun sampai rumah. Lelah dan pegal setelah empat jam mengangkangi jok tiba-tiba menjelma menjadi iblis yang merayu-rayu agar menghampiri ranjang secepat aku bisa, sehabis makan.

Bagai mimpi buruk, bagai tidur di hari minggu tanpa sekolah lalu jam beker di sampingmu berdering, jam beker model lama yang logamnya berdenting, bagai sedang tidur gelisah dan capai di tenda saat Persami, tiba-tiba dibangunkan semena-mena dan langsung disuruh baris, itu yang aku rasa. Lelap, lelap, lelap….krik-krik-krik! Suara keras datang entah dari alam apa. Jangkrik dalam mimpi? Belum pernah aku alami. Aku masih tidur dan mengumpat dalam mimpi, kucari-cari si brengsek itu berada, sekedar mau kugeplak pakai gagang sapu, tak ketemu dia.

Kesal, kuputuskan cari di alam sadar, atau mungkin alam sadar adalah mimpi dan mimpi adalah alam sadar? Ya apapun itu, aku beranjak dari satu alam ke alam lainnya. Adikku di ruang tamu datang, jangkrik, itu! Katanya. Iya, aku juga tahu itu jangkrik, bentakku. Udah dua hari gitu terus! Katanya lagi. Oh, mataku menyusur kamar sempit dua kali satu meter, tak ada sosok hijau. Sret! Ventilasi itu, karena gelap aku pun mencurigai di antara sela itu Si Hijau brengsek bersembunyi. Plok! Pukul sekali. Masih belum yakin dia lari apalagi mati, kupukul lagi dua kali.

Aku pun merebah lagi.

Lima menit kemudian si darah-tak-berwarna ini menjerit kembali,. Naik pitam, kupukul ventilasi tanpa perhitungan sehingga terlalu keras. Brak! Ibu berteriak dari dua kamar sebelah kamarku, diam! sudah malam apa yang masih kau lakukan? Tidur, bodoh!

Aku tidur lagi, memejamkan mata saja tepatnya.

Hingga dua jam ke depan kurang lebih , Hijau yang sosoknya sempat kukagumi lewat serial kanak-kanak tentang pahlawan kebenaran dari negeri matahari terbit ini berderik delapan kali dalam setiap ritmenya (krik-krik, krik-krik, krik-krik, krik-krik).

Serang ga. Serang ga. Serang ga. Aku menimbang.

Kesal, lelah, dan ngantuk, aku memutuskan mengalah. Kali ini kau menang hai serangga.

Laron, aku kalah karena aku tak tahu siapa sebenarnya ia, intelektualitasku sebagai lulusan SMA yang –mereka bilang—taraf internasional dalam rintisannya, terhina. Dan kau jangkrik, kesabaranku diujinya, makhluk yang besarnya tak lebih dari dua jariku. Aku tak sabar, aku diumpat ibuku, aku jadi tak bisa tidur.

Serang ga? Ah, dasar serangga![]

NB:

Rayap adalah bagian terakhir dari metamorfosis rayap. Alurnya adalah, telur – nimfa – rayap – laron. Alur tersebut membentuk siklus. Rayap yang sudah cukup lama bekerja dalam koloninya dan siap “berumah tangga” akan berubah menjadi laron dan terbang mencari pasangannya, itulah saat mereka berkumpul mendekati sumber cahaya . Usai menemukan pasangannya dan bertelur, laron-laron tersebut akan mati. Intinya, laron itu rayap yang sudah uzur. He-he-he. Penjelasan ini aku dapat setelah melanglang buana maya, terima kasih internet!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar