18 Oktober 2009

Boleh Kan Nggak Sepakat?

MALAM-malam di rumah, sekarang rasa rumah tak lagi rumah, rumah dalam arti house bukan home, karena home saya sekarang ya kos. Saya rindu kos dan rindu kawan-kawan. Kawan-kawan saya itu koneksi internet beserta komputer, boleh juga atau emang butuh MP3 yang menghibur, barangkali mau mendengar suara orang mati si Raja Pop, saya suka dia walaupun yang namanya pop itu kayak apa saya juga kurang tahu.
Tadi siang hingga menjelang bedug isya, eh nggak ada bedug ding sekarang, azan maksud saya, saya kongkow dengan kawan. Ini kawan dalam bentuk plural dan bernafas, bisa diidentifikasi maskulin atau femininnya, itu kalau pakai bahasa Jerman atau Prancis bila kelak tulisan ini mau dialihbahasakan, eh emang mungkin ya?

Kami duduk di ruang tamu rumah kawan 1. Ada lima orang di ruang itu, sudah sama saya. Kami ngomong ngalor-ngidul tapi saya bosan dengan pembicaraan tanpa arah dan bahasan utama itu, istilah saya ini model pembicaraan yang “nggak jelas”. Kawan 2 dan saya sebenarnya yang mendominasi pembicaraan, sedangkan yang lain Cuma: oh ya? Emang iya? Ha-ha. Begitu saja.

Lalu saya ingat kawan saya di perantauan. Saya pernah protes padanya saat kami ngobrol dengan obrolan seperti klasifikasi di atas. Lho memang bagaimana langkah mengklasifikasikan pembicaraan itu?

--Sebelumnya saya minta maaf pada saudara-saudara yang tidak mengerti klasifikasi makhluk hidup karena masuk jurusan IPS di bangku sekolah menengah atau yang jaman baheula alias masa kumpeni dulu ya kaya MULO gitu, karena saya akan mengatakan anda goblok! Loh ini materi jaman kelas 1 sma kok, saya sih dulu nyebutnya kelas X (sepuluh)!--

Gampang saja, cukup saya masukkan dalam kingdom pembicaraan, divisi obrolan, kelas humaniora (karena yang dibicarakan manusia). Nah, karena famili, genus, dan spesiesnya tak dapat saya tentukan bahkan hingga kini, maka saya putuskan:

Udah deh, ganti topik, obrolan nggak jelas gini.

Saudara-saudara! Bukankah logis sekali dialektika pemikiran saya itu? Apa gunanya saya mendengarkan pembicaraan yang bahkan saya sebagai subyek pembicara pun tak paham akan dibawa kemana dan nantinya akan menghasilkan gol apa. Lalu apakah alasan sang kawan yang di sini singular dan kelaminnya maskulin ini untuk mengatakan:

Loh kok nggak jelas? Apanya yang nggak jelas?

Saya haqqul yakin dia sedang ngetes saya, untuk berargumen atau membuat eksposisi analitik atas pernyataan saya tadi di atas. Asem! Kata saya cukup dalam hati karena tak berharap ia geplak walaupun kalau dirasa-rasa ya tidak mungkin juga dia nggeplak saya hanya karena saya bilang “asem!”. Sebelumnya saya menelan ludah yang manis karena enzim amilasenya baru saja bereaksi dengan karbohidrat dari nasi padang yang baru saya makan atas kemurahan hati kawan yang akan saya debat ini, dan saya mulai putar otak sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal (fragmen ini fiktif belaka, karena saya teringat novel yang pernah terbaca waktu cilik ada bagian ini berulang-ulang di lima dari tujuh babnya, soal babnya saya juga bohong, lupa berapa jumlahnya, intinya banyak keluarlah adegan ini. Nggak pernah ya saya suka garuk-garuk).

Pragmatis saja, kalau apa yang kita omongin ini nggak ada hasilnya atawa manfaat buat saya, ya saya anggap nggak jelas bin nggak mutu.

Itu jawaban yang keluar dari mulut saya, bukan masalah klasifikasi tadi karena si Dia bukan anak IPA walaupun itu tidak ada pengaruhnya (kan sudah saya bilang itu dipelajari pas kelas satu).

Oh, jadi menurut kamu yang dari tadi kita omongin nggak ada manfaatnya?

Iyalah, dari ini meloncat ke itu, dari itu meloncat ke sana. Nak cakap apa pulalah kite ni?

Aduh saya kepleset melayu lebay gini, pasti gara-gara sinetron yang soundtracknya lagu tahun 90-an itu.

Tak usalah saya bertele-tele menjelaskan apa yang kami bicarakan kemudian, lebih baik saya bertele-tele menjelaskan petilan-petilan cerita ini, karena apa yang kini kami bicarakan mengandung privasi yang besar dan buah pemikiran yang sekiranya diungkapkan pada umum setidaknya dipatenkan lebih dahulu untuk mencegah plagiat dan kerugian saya secara materi.

Intinya, saya yakin akan menang dalam debat ala Agus Salim dan kusir sado ini. Dan dengan sangat tidak berperikemenangan, sang kawan menghempaskan akhir kemenangan heroik saya dengan sebuah kalimat yang terinspirasi dari Bill of Right atau malah UUD 1945:

oke, tapi boleh kan nggak sepakat?

Asli, sebenarnya saya mau kasih dia tepuk tangan dan kaki saat itu juga, tapi urung dengan pertimbangan (1) di tempat makan yang jadi lokasi perdebatan kami ada banyak orang yang mungkin di antaranya berada jodoh Tuhan untuk saya, saya tak mau menutup pintu jodoh dengan perilaku bodoh ibnu konyol, (2) tengsin seratus persen ngasih dia tepuk tangan karena keberhasilannya mengebom poker kemenangan saya. Dalam hati yang terdalam, hati yang jarang memuji ini, saya puji dia cerdas luar biasa.

Mau ngeyel kaya apa juga, dia mau atau tidak terima pendapat saya, itu haknya. Soal normatif yang subyektivitasnya besar sekali seperti ini, hak pribadi sebagai individu jadi raja. Mau saya jelasin sampai memble tapi tetap kece akan kembali pada hak asasinya buat percaya atau tidak, mau sepakat atau tidak.

Setelah itu dan seterusnya, senjata boleh kan nggak sepakat itu jadi kebencian tersendiri khusus dari saya pada dirinya. Kecerdasannya yang tadi saya puji, kini saya kategorikan licik. Setiap kami berdiskusi, ujung-ujungnya tak pernah selesai, atau bahkan setidaknya dia memberikan jawaban yang logis sedikitlah atas sangkalannya buat pendapat saya, juga tak ia lakukan karena:

Boleh kan nggak sepakat?

Saya ngambek eh malah dicubit. Huh.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar