18 Oktober 2009

Pertarungan Bawah Tanah

Di rumah, ada lima speaker yang jadi pendendang tembang: 2 speaker dari dua Tv, 1 speaker komputer, 1 speaker Hp, dan mulut saya. Dalam hal intensitas “kenyalaan”, speaker dari 1 Tv adalah jawaranya. Tv ini menyala mulai dari ketika penghuni rumah yang pertama kali bangun, bangun, sampai penghuni rumah yang terakhir tidur, tidur. Dihitung-hitung kurang lebih 20 jam sehari. Kalau soal siapa pendendang lagu termasif, komputer menang. Minimal setiap hari dua orang di rumah menyetel komputer bergantian, berkali-kali menyalakan dan mematikan sehari semalam, dan setiap kali menyala pasti memutar lagu dulu baru bekerja. Track record si kompi baru kalah kalau saya pulang. Berduet dengan Hp atau akapela, saya adalah pendendang termasif. Jadinya, rumah kami tak pernah sunyi dari alunan nada. Mayor, minor, soprano, tenor, jazz, rock, dan fals.
Sejarah permusikan keluarga kami tentulah dimulai dari bapak ibu. Dari bapak, sejak kecil saya dicekoki Koes Plus, Titik Puspa, Gombloh, Panbers, D’lloyd, dan Bee Gees. Bapak juga penikmat musik latin, tanpa pernah peduli siapa penyanyi, asal latin. Lagu favoritnya, Che Sara. Dari Ibu, telinga saya tak asing dengan Dian Piesesha dan lagu-lagu Pance F Pondaag. Juga lagu impor macam “Kokoro No Tomo”. Makanya, kalau sekarang saya gemar lagu jadul dan lagu mellow dari aliran pop dan jazz, bapak dan ibu yang saya salahkan.

Adik Kedua (No 2) selera musiknya tak jauh-jauh dengan saya. Kami selalu mendengarkan The Beatles bersama, atau komat-kamit menyanyikan “To Love Somebody”nya Bee Gees berdua. Saat saya mulai mengenal Louis Armstrong, bahu membahu kami kumpulkan koleksi bersama.

Seiring bertambah besar, saya dan No 2 mulai banyak mengenal musik. Folder untuk lagu di komputer kami bagi dua. Saya semakin tenggelam dengan lagu-lagu jazz dan pop beserta cabang-cabangnya, juga menggemari country dan swing (sebenarnya masih banyak istilah aliran musik yang tak saya mengerti jadi asal kategorikan saja, hehe). Dan diperhatikan-perhatikan, No 2 semakin condong ke K-pop, pop inggris dan amerika kontemporer, juga hip-hop. Musik-musik itu, selain hip-hop, saya cibir punya tipikal dengan pop Indonesia kebanyakan yang sudah cukup membosankan saat didengar kali kedua. Kongsi kami pecah.

Sekarang Bapak dan Ibu sudah tidak punya pengaruh di belantika musik keluarga lagi. Di bawah tanah, ada pertarungan diam-diam antara saya dan No 2—yang baru saya sadari—untuk menjerat No 3 dan No 4 ke selera musik masing-masing.

Jadilah keadaan saat saya pulang seperti ini. Saat No 2, 3, dan 4 duduk di depan TV menyaksikan acara musik populer, saya buang muka. Sambil beralasan “Ssstt, kecilkan, tetangga keberisikan,” saya kecilkan suara TV lalu mencari sapu dan serok, mulai menyapu rumah. Sambil lalu lalang di depan TV dengan dalih menyapu, saya setel Maliq and D’essentials lewat Hp, pasang di volume tertinggi, letakkan di meja sebelah TV, dan saya ikut berdendang. Besok-besoknya terulang tingkah serupa, tapi diganti dengan Dido, King Of Convenience atau Frank Sinatra. Mission completed!

Tapi rupanya radar musuh membaca tindak-tanduk saya. No 2 pasang tameng dan balas menyerang. Melengganglah No 2 ke depan Tv untuk mengganti siaran ke channel acara anak-anak. No 3 dan No 4 adalah Warga Negara Kelas 3 yang selama acara Tv masih berkisar acara apapun selain berita, akan manggut-manggut saja (WN Kelas 1 adalah yang memegang pemerintahan, WN Kelas 2 adalah oposisinya, Kelas 3 abstain dan golput, sering diinjak-injak WN kelas 1 dan 2 pula). Dari depan Tv, No 2 beranjak ke depan komputer dan menyalakannya. Didukung dengan speaker baru yang ketika saya tes untuk menonoton film, saya sampai berasa nonton di bioskop, ia tenggelamkan suara fals saya dan si Hp dengan “I Don’t Care” dari Wonder Girls (sumpah, ini lagu sukses bikin saya emosi dari intro sampai refrain. K-pop kayak gini nggak bisa ditolerir). Skor sementara 1-1.

Sepertinya banyak yang tidak sepakat dengan teori John Locke bahwa pikiran anak-anak ibarat kertas kosong (tabula rasa) yang siap ditulisi. Tanpa mengaitkan teori ini dengan model pendidikan pedagogik Indonesia yang banyak menuai kritik tak puas, saya setuju dengan John Locke. Pribadi, saya menyimpulkan bahwa selera musik saya sekarang ya karena andil Bapak saat saya kecil, dan itu baru seringkali tidak disadari. Makanya, siapa yang menang antara saya dan No 2 dalam pertarungan “musik siapa yang dipilih?” baru akan ketahuan nanti (saat kedua anak kecil itu puber dan mulai menggandrungi musik).

Nb: Sami Yusuf, seorang penyanyi yang disebut TIME sebagi “Islam’s biggest rock star” menghindari wawancara yang membuat ia banyak bicara tentang dirinya sendiri, “saya lebih memilih menyanyi”. Membaca itu, saya yang sedikit tertohok berujar dalam hati, “bodo, ah!”.[]

Pwt, 24 Sept 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar