18 Oktober 2009

Tiga Raja

ADA kesamaan antara Raja Airlangga dari Medang Kamulan, Raden Wijaya pendiri Majapahit, dan Prabu Yudistira Raja Astina. Ada benang merah antara mereka bertiga, walaupun hanya dua di antaranya yang ada di kehidupan nyata, Yudistira hanya ada di cerita, walau cerita yang disadur dari yang nyata. Tapi, apakah yang “nyata” itu?
Airlangga seharusnya dengan nyamannya dapat langsung menggantikan Dharmawangsa menjadi raja di bumi Mataram pada waktunya. Namun dendam merubah takdir indah sang putra Mahendradatta, atau ini memang takdirnya. Alkisah, Teguh Dharmawangsa sang raja Medang Kamulan, kerajaan lanjutan Mataram lama bentukan Mpu Sindok di Jawa Timur, ingin menguasai Sriwijaya. Tahun 990 M ia mengirim pasukannya untuk menyerang Sriwijaya, namun gagal. Walau begitu, Bali, Kalimantan, dan Bangka berhasil dikuasai.

Siapa menanam dia akan menuai, itu berlaku pada Dharmawangsa. Raja yang memerintahkan penerjemahan kitab Mahabaratha ke bahasa Jawa kuno ini tewas saat pernikahan putrinya dengan Airlangga pangeran dari Bali. Acara yang seharusnya berakhir bahagia malah jadi Pralaya karena Medang Kamulan diserang kerajaan Wura-Wuri, sekutu Sriwijaya. Lolos dari serangan itu; lolos dari kematian; Airlangga mengembara di hutan sambil menyusun kekuatan bersama pengikutnya yang setia, Narotama. Akhirnya Airlangga dapat naik tahta setelah diminta para brahmana. Ia mulai membangun kerajaan kembali dan merebut daerah-daerah yang dulu dikuasai Dharmawangsa.

Waktu terjadi Pralaya akibat serangan tentara Jayakatwang dari Kediri, Raden Wijaya berhasil meloloskan diri. Ia lari ke Madura untuk meminta perlindungan Bupati Madura Arya Wiraraja. Berpura-pura menyerah dan mengabdi pada Jayakatwang, Raden Wijaya bahkan dihadiahi tanah tarik tempat pohon-pohon maja berbuah pahit tumbuh menghutan. Dengan mempraktikkan devide et impera jauh sebelum Belanda datang, Raden Wijaya berhasil mendapatkan kembali Singasari berkat kekuatan bala pasukan Kubilai Khan yang 20.000 orang itu. Raden Wijaya pun mendirikan kerajaan baru gabungan Singasari dan Kediri dengan nama Majapahit.

Yudistira atau Puntadewa, sang sulung pandawa, akhirnya jadi raja setelah perang akbar Barathayuda. Bermula dari meninggalnya ayah Pandu di pelukan ibu Madrim akibat termakan sumpah, tahta Astina pun jatuh pada si buta Destarastra yang dikendalikan istrinya yang licik karena dendam, Dewi Gendari. Bersama adiknya, Sakuni, Gendari yang sakit hati pada Pandu mewariskan dendam dan sengketa seumur hidup hingga anak-anaknya; permusuhan pandawa dan kurawa.

Pandawa dan kurawa berselisih sejak mereka kanak. Pandawa mungkin mewakili segala kebaikan dan mengajarkan banyak hal, salah satunya: janganlah berjudi! Akibat kegemaran buruk itu, mereka sekeluarga ditemani para punakawan harus mengasingkan diri di hutan selama 13 tahun. Walaupun berkat ini Bima bisa bertemu istri pertamanya yang raksasa, Arimbi, sehingga beranak manusia otot kawat balung wesi Gatotkaca. Perselisihan ini bermuara pada Barathayuda di Padang Kurusetra. Lewat darah ksatria, prajurit, dan raksasa, darah para keluarga dan abdi setia, Astina kembali pada Yudistira.

Adalah kesamaan antara ketiga raja itu. Ketiganya menjadi raja lewat perjuangan, lewat pengorbanan. Duduknya ketiga raja itu di singgasananya selalu diawali Pralaya. Perang besar yang makan banyak nyawa. Ketiganya pun ditemani orang-orang dekat dalam usaha mendapatkan kekuasaan mereka. Airlangga dan Narotama mengembara bersama di hutan. Raden Wijaya mustahil dapat mendirikan Majapahit tanpa bantuan Arya Wiraraja saat menyusun taktik. Yudistira pun dibantu saudara-saudara dan abdinya, di mana saat perang Barathayuda peran Kresna sangat krusial bagi kemenangan Pandawa.

Entah mengapa dalam cerita ketiganya selalu muncul setting hutan. Hipotesisnya, hutan pada masa itu ibarat mall di serial TV Indonesia masa kini.

Kesamaan lainnya adalah ending cerita. Kerajaan ketiganya, yang diperoleh kembali, yang didirikan lagi, dengan susah payah, akhirnya musnah. Hancur di tangan keturunan mereka. Karena putra mahkotanya memutuskan jadi pertapa, Airlangga mengalihkan kekuasaan pada anak dari selirnya karena putra dari permaisuri memutuskan untuk hidup selibat dan menyepi sebagai biarawan, dan agar adil, maka kerajaan dibagi dua untuk kedua putra selir itu. Kediri dan Jenggala, walaupun pada akhirnya antara mereka tetap terjadi pertikaian yang berakhir dengan kemenangan Kediri. Kediri sendiri berakhir di tangan Kertajaya dan diambil alih Ken Arok yang kemudian dijadikan kerajaaan baru bernama Singasari. Akhir Singasari menjadi awal bagi Raden Wijaya dan Majapahitnya. Majapahit sendiri pun akhirnya tamat dengan tragis setelah digempur kerajaan islam. Sedangkan dalam cerita pewayangan, Yudistira yang tiada beranak menyerahkan tahtanya pada Parikesit putra Abimanyu putra Arjuna. Nasib Parikesit mati seperti kakek buyutnya Pandu, termakan sumpah begawan karena kecelakaan saat berburu. Parikesit meninggal setelah tergigit ular Taksaka tanpa meninggalkan penerus, dan selesailah dinasti Baratha.

Disengaja atau tidak (mungkinkah disengaja? Kecil kemungkinannya), atau hanya roda sejarah yang kembali pada titik yang sama, itulah yang terjadi pada tiga raja besar itu. Mereka mulai dari hak menjadi raja yang terampas sehingga membuat mereka harus berjuang mendapatkannya. Mereka bermula dari pralaya untuk jadi raja. Tanpa orang-orang di sisi mereka tak akan jadilah seperti yang kemudian terjadi. Dan setelah ayem jadi raja, mati dengan tenang, anak cucu keturunan mereka menamatkan semua.

Pelajaran apapun bisa dituai dari cerita ini. Pun bisa tak ada satupun makna yang didapat dari relief digital ini; dari cerita ini. Sejarah adalah cermin yang menampakkan kebenaran, namun kita berada di tempat yang berbeda-beda di hadapan cermin itu. Tak perlu disayangkan.

Sangat menyeramkan ketika berusaha menuliskan sejarah sekalipun atas interpretasi pribadi. Apalagi main othak athik gathuk dengan sejarah seperti ini. Lagipula, siapa yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi? Maka, maafkanlah![]

2 komentar: