18 Oktober 2009

Journey to the West

Sumber
SUATU hari dalam perjalanan, saat sedang menyetir, tiba-tiba saya berpikir untuk menyebut perjalanan ini adalah Perjalanan ke Barat, Journey to The West. Purwokerto memang berada di barat Jogja. Saya membayangkan kisah Kera Sakti dan kawan-kawannya berjalan selama 14 tahun. Kisah di jaman yang tidak begitu jelas, mungkin di awal kemunculan Buddha, atau masa awal masuknya Buddha ke China. Bisa juga kita berpikir Tong Sam Cong hidup di awal abad 20 ketika sastra surealis berkembang. Kini cerita itu dikontemporerkan lewat khayalan saya. Saya adalah ringkasan Tong Sam Cong, Sun Go Kong, Wu Chi, dan Tie Pat Kai dalam satu tubuh di jaman informatika dan serba digital.

Saya memaknai perjalanan ke barat sebagai kamuflase pencarian kebahagiaan. Empat orang itu pernah merasakan kebahagiaan –yang menurut mereka- hakiki di masa lalu, dan kemudian kebahagiaan itu terampas oleh takdir. Perjalanan inilah proses menemukan kembali (revenir) kebahagiaan itu. Mereka berjalan menembus 81 macam rintangan hanya untuk merangkum kembali kebahagiaan masa lampau, kebahagiaan yang dirindukan. Semahal itu rupanya harga kebahagiaan.

Lalu kenapa ke barat? Saya pikir, ini seumpama matahari yang terbenam ke barat. Barat kemudian menjadi simbol “akhir”. Barat adalah akhir dari pencarian mereka. Namun tak disangkal, bisa saja arah barat ini muncul karena intervensi Islam yang (lagi-lagi) mungkin saja sebenarnya mulai memasuki China di masa itu (tanpa terdeteksi ahli sejarah --Semakin lama hipotesis saya semakin ngawur). Atau cerita bahwa perjalanan tersebut menuju barat sebenarnya sudah tidak orisinal lagi, telah diganti arahnya oleh pemerintah komunis (bisa saja di cerita asli ternyata mereka menuju tenggara?) sebagai simbol perlawanan/kebencian China pada Jepang (negara matahari terbit = timur); bahwa barat adalah kontra timur. Tentu ini adalah bahan yang sangat menarik sebagai kajian poskolonial.

Sekalipun saya dan empat sekawan itu melakukan perjalanan ke arah yang sama adalah sebuah kebetulan, namun antara kami terdapat kesamaan misi. Terlepas dari ritual pulang adalah bentuk kultisme pada keluarga atau karena kondisi keuangan yang memaksa untuk pulang, saya hakkul yakin saya beroleh kebahagiaan saat pulang. Ini adalah kebahagiaan yang berbeda dari kebahagiaan ketika bersama teman, apalagi kebahagiaan saat tulisan dimuat di media. Seiring realita kalau saya ngekos untuk pertama kali ya saat kuliah ini (di luar kota pula), hingga tahun kedua, saya masih punya ikatan emosional yang kuat dengan orang-orang rumah. Terkadang, di Jogja, saya melamunkan sedang bercanda dengan adik bontot saya. Pertengkaran dengan adik kedua pun jadi momen yang indah untuk dikenangkan. Beberapa kali, untuk sesaat saya ingin bisa seperti “dulu”, bersama keluarga kapanpun saya ingin. Saya merindukan kebahagiaan yang “dulu”, yang terenggut karena saya memilih untuk kuliah demikian jauh dari rumah.

Masih sambil bergetar karena dinginnya terpaan angin menembus jaket, dan badan yang bergetar karena ban terantuk kerikil-kerikil, saya tersenyum. Masih memegang stang motor saya membatin: Ke baratlah saya kembali menemukan kebahagiaan menjumpai ayah-ibu dan saudara-saudara saya.[]

Addendum:

Usai menuntaskan relief latin ini, saya menciptakan peribahasa baru tapi tidak bermutu, bagai sarang lebah. Maksudnya keluarga (saya) itu seperti sarang lebah. Enak dilihat dari jauh, indah, dan membuat kita membayangkan manisnya madu, namun saat didekati malah menyengat. Bayangan dan kerinduan yang indah sirna saat motor saya parkir di halaman rumah. Baru saja membuka pintu, adik saya nomor tiga menyambut dengan kata-kata, “hay, si kancil pulang, pasti duitnya dah habis.” Ingin segera saya ketok kepalanya meskipun kata-katanya benar (saya tidak senaif itu pulang hanya demi uang, ada ATM gitu lho! but, memang saya putuskan untuk pulang ketika bapak --yang pura-pura Amnesia retrograde-- tak kunjung mengirim uang). Tapi rupa-rupanya, yang semacam itulah kebahagiaan yang “dulu” bagi saya, yang saya rindu-rindukan saat jauh.

Jogja, 14 oktober 2009

2 komentar:

  1. Gak nyangka.... Teman SMP yang dulunya cuma bisa main kejar-kejaran dengan Topan, Aphing, Gerry, sekarang tulisannya kayak gini... Kamu berbakat kalo bikin buku... Bikin cerita kayak gitu lagi ya... Ditunggu...

    BalasHapus
  2. Tulisan kamu mirip karya Putu Wijaya dan Andrea Hirata. Bisa nggak bikin cerita tentang cinta tapi cerita nya pake bahasa kamu itu ? Pasti menarik.

    BalasHapus