21 Februari 2010

Bapak

KETIKA itu pukul 07.30 tanggal 28 September 2009 saat saya sedang berhenti di lampu merah pertigaan gejayan. Mata ini sedang seliwar-seliwer tengok kanan-kiri mencari pemandangan sampai akhirnya tertumbuk pada motor di sebelah barat laut saya. Motor biasa yang dikendarai bapak yang biasa pula dalam pandangan saya.

Namun coretan di ujung joknya membuat hati ini tergelitik. Saya kira bapak ini adalah seorang pegawai yang hendak berangkat kerja. Jamak seperti biasanya kita menemui orang-orang tak dikenal dalam sehari-hari, kita tidak pernah memikirkan lebih jauh mengenai orang-orang tersebut. Kita hanya sebatas membayangkan mereka semata seperti tampaknya mereka. Meskipun kita tahu kalau semuanya belum tentu seperti kelihatannya.

Sebenarnya tulisan apa yang membuat saya jadi terobsesi dengan bapak itu?

Di atas cetakan merek motor si bapak (Honda) tertera merek motor Jepang lainnya, dan di bawahnya pun ada merek motor Amerika.

Sejenak terhenyak karena tulisan di jok motor bapak itu, ternyata lampu sudah beralih hijau. Bapak itu melaju dan refleks saya mengejarnya. Entah apakah ia sempat memperhatikan saya lewat spionnya sehingga berpikir ada seorang gadis sedang mengejarnya. Sambil membututi bapak itu, naluri (sok) jurnalis saya membisikkan “ayo, foto bapak itu!”. Seketika saya keluarkan Handphone dari saku. Dengan satu tangan menggas motor, dengan tangan kiri saya potret si bapak. Dan ini hasilnya.

Ini dia.

Saat pertama kali memandang bayangan saya tentang si penulis adalah anak si bapak yang pastinya penggila Moto GP. Mungkin ia masih duduk di bangku SD sehingga kejahilannya masih khas anak-anak. Entah si bapak ini tahu atau tidak kalau motornya modifikasi (satu motor tiga merek, modifikasi dahsyat!) sang anak, dan apakah saat tahu si bapak marah atau hanya mendiamkannya sebagai kewajaran seorang cilik. Imajinasi saya memosisikan si bapak ini seperti bapak saya. ia hanya akan berseru kaget sebentar melihat motor yang disayang-sayang dinodai sang anak. Lalu membiarkannya seakan tidak terjadi suatu apapun.

Di mata saya, anak-anak memang kerap mengerjai orang tua mereka, sengaja atau tidak. Biasanya makin dimarahi, makin dilarang, malah makin menjadi. Kata orang tua itu tandanya mereka sedang mencari perhatian, jadi harap diacuhkan saja. Sikap orang tua menanggapi kenakalan anaknya bagi saya berbeda antara bapak an ibu. Sekalipun sebenarnya tergantung pada pribadi masing-masing ayah atau ibu, namun sudah terbentuk stigma di mata saya bahwa ayah selalu lebih sabar dan mudah diajak bermain. Maka, anak lebih suka mengganggu atau mengajak bermain bapak daripada ibu.

Bapak adalah tempat bermanja-manja. Ingatan saya masa SD adalah, kalau sudah diajak bapak jalan-jalan ke pasar itu berarti semangkuk bakso favorit untuk saya sendiri. Kalau dengan ibu, hm, jangan harap! Mau minta permen sebatang pun ia banyak pikir, kalau dikasih juga selalu didahului prolog soal pentingnya berhemat dan anak-anak yang harus dididik supaya tidak manja. maka bapak selalu jadi pelarian kalau dimarahi ibu.

Selain terkenal sebagai sosok yang “mudah”, “memanjakan”, “tidak banyak omong”, dan “jarang marah” para anak tahu kalau bapak itu jinak-jinak naga. Sekali sudah marah, ibarat kiamat dunia anak-anak yang kecil itu.

Mengingat kebaikan-kebaikan bapak, sikapnya yang nrimo menghadapi anaknya yang serupa jelmaan iblis, membuat nasihat bapak selalu terasa lebih “dalam” dibanding ibu. Maka saat bapak berpesan agar belajar dengan baik di kota orang sementara ia banting tulang, itu menjadi sebuah beban yang serasa menjadi kejahatan terbesar bila tidak melaksanakannya; dibanding menuruti perintah ibu agar gemar menghemat.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar