21 Februari 2010

Pergi

Pangeran Kecil
SIANG ini aku sempatkan membaca Le petit Prince (Pangeran Kecil) sambil menunggu seseorang di hadapanku yang tak berhenti bicara pada orang lain, alih-alih padaku. Buku favorit yang sudah dibaca berulang kali. Pikiranku melayang-layang.

“Déjà vu” (pernah melihat, Prancis), aku kira kemarin siang aku mengalaminya. Tapi bukan, bukan “déjà vu”. Bukan sekedar sesuatu yang pernah kulihat, tapi kualami, “Je suis déjà”.

Mengantar seseorang menjemput kehilangan. Bukan sesaat tapi selamanya.


Dia menangis sepanjang perjalanan, seperti aku dulu. Aku sentuh lututnya dan sshh! Kataku, menyuruhnya tenang. Setelah dia hilang dari pandangan baru aku sesali telah menyuruhnya diam. Kalau waktu itu aku tidak menangis, aku pasti gila karena kesedihan yang meledak. Entah 6, 7, atau 8 jam waktu itu kuhabiskan menangis untuk seseorang yang aku kenal selama 2 tahun. Aku tak tahu akan sampai kapan dia menangis untuk orang yang ia kenal selama 20 tahun itu.

Tadinya aku mau munafik untuk menyuruhnya jangan bersedih. Nasihat bodoh. Seharusnya aku menyediakan bahu untk ia bersandar, telinga yang mendengarkan sesalnya, mata yang memandangnya dengan hangat, dan mulut yang mau diam. Tapi aku akhirnya memilih mematung.

Sedihmu itu, kawan. Sedihmu yang kini, akan sampai kapan? Selama kau mengenangkannya untuk dilupakan? Lalu sampai kapan kau akan mengenang? 7 hari setelah kepergiannya, 40 hari, 100 hari, atau 1000 hari? Setiap 12 bulan sekalikah saat lebaran yang baru saja lewat datang lagi? Di hitungan ke berapa kau akan mulai melupakannya?

Pangeran kecil dari buku yang kupegang tiba-tiba hidup dan mulai bercerita.

Orang-orang dewasa menyukai angka. Ketika kau mendeskripsikan seorang teman baru kepada mereka, mereka tak pernah menanyakan padamu hal-hal yang penting. Mereka tak pernah bertanya, “seperti apa suaranya? Apa permainan favoritnya? Apakah ia mengoleksi kupu-kupu?” Bukannya bertanya begitu, mereka malah menuntut, “berapa umurnya? Berapa banyak kakak dan adiknya? Berapa beratnya? Berapa penghasilan ayahnya?” jika sudah bertanya begitu , barulah mereka merasa mengenal teman barumu. Jika kau berkata kepada orang-orang dewasa, “aku melihat rumah indah terbuat dari bata merah jambu, dengan bunga geranium di jendela-jendelanya, dan merpati di atapnya, mereka tak bisa membayangkan rumah semacam itu. Kau harus berkata, “aku melihat rumah yang harganya 100000 franc.” Maka mereka akan berseru, “oh, pasti indah sekali.”

Sebelum aku jadi lebih ketakutan lagi, segera kututup buku dan gambarnya yang bisa bicara itu. Teman di depanku pamit pergi.

Apakah kita harus sedikit menjadi anak kecil, sedikit tidak dewasa, bahkan untuk sekedar melupakan angka-angka itu ketika mengenang yang kita sayang?

Ternyata dari buku yang tertutup pun si pangeran kecil suaranya masih terdengar sayup-sayup.

Orang dewasa selalu memikirkan dan melihat apa yang mereka inginkan.

Kurasa ia sedikit banyak benar. Kita bahkan tidak persis tahu, apakah kepergian itu selalu berarti “pergi”? mungkin hanya sekedar salin rupa dari kasat mata ke tak kasat mata. Kita pun tak benar-benar tahu kalau sebenarnya dia masih di dekat kita, bahkan lebih dekat. Barangkali dengan keadaannya yang sekarang, ia malah selalu berada di samping kita. Kita membayangkan semuanya seperti yang kita inginkan.

Mungkin, sedikit menjadi seperti anak kecil, kita bisa lebih tabah.[]

2 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar