21 Februari 2010

Surabaya-Madura-Jember: Antara Bau Got, Nasi bebek, dan Homo #4-5

Kucing-kucing di Tegalboto.
#4

Kereta sudah sepi sehingga lebih longgar untuk dikuasai bangku-bangkunya. Kursi keras dan jendela kotor yang sudah satu setengah tahun saya akrab. Sampai di Jember pukul 22.30. Di luar stasiun ada 3 orang antek Tegalboto (yang diakui sebagai anak buah oleh PU-nya) yang pemurah nan luhur budinya menunggu kedatangan kami: Mas Arys, Mas Nuran, dan Ulul. Kecuali Mas Arys, saya curiga akan kebaikannya menuntut pamrih dan bayaran: gadis manis EKSPRESI asal Jepara. Oya, Stasiun Jember benar-benar bikin saya mencibir. Mirip rumah sakit atawa puskesmas. Panjang, putih, beratap rendah, dan terbuat dari kayu. Horor dan mistis!

Tegalboto yang sekomplek dengan Gedung PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Universitas Jember. Baunya menguarkan aroma yang sama dengan EKSPRESI-rektorat lama. Suasana dan keadaan ruangan yang berantakan pun demikian akrab. Sekejap, rindu yang lama lindap jadi menyesakkan dada. Duh, kangennya…

Saya sudah lama dengar nama Arman Dhani Bustomi. Tahu FB-nya, pernah chatting dan perang statement (pun makian) di status, tahu fotonya, pernah baca tulisannya, tapi baru tahu kalau ia adalah tuan rumah nan filantropi, sebagaimana warga Negara Tegalboto lainnya. Datang-datang kami langsung dibawa ke rumah makan “MURAH MERIAH” yang bisa jadi saingan berat Tenda Biru di Jogja, dan disuruh makan gratis (makan tanpa bayar, bukan makan makanan bernama gratis). Dari situ lalu diajak minum Wedang Cor yang tak bisa saya nikmati (susu putih sialan!). Pagi ditutup dengan tidur ala pengungsi (yang sudah lama tak saya lakukan).

30 Januari 2010

Bangun pukul 7, saya dan Nisrina berangkat ke masjid! Bukan untuk ibadah tapi mandi. Jarak TB dengan masjid lumayan jauh bagi rider sejati macam saya, makanya saya tak mau banyak minum! Usai mandi kami nongkrong di depan TB yang asri. Satu yang jadi perhatian saya sejak semalam: kucing! Kelak, usai menandaskan 4 hari 3 malam di kota Jember, kami menahbiskan Jember sebagai kota kucing. Ada kucing di mana-mana. Kembali ke kucing di depan Tegalboto, ada dua kucing yag menurut saya sedang berantem dan menurut nisrina sedang pacaran (berantem termasuk ritus pacaran?). Namun kucing yang berwarna hitam bagi saya mengerikan. Suaranya bukan mengeong-ngeong, tapi menjerit, seperti suara bayi. Saya jadi teringat Sindrom Cri Duchat, yaitu mutasi genetik yang terjadi pada janin sehingga bayi yang dilahirkan berwajah dan bersuara sepert kucing. Bayi yang demikian cuma bisa tahan hidup sampai umur 2 tahun. Pertanyaannya, kucing yang bersuara seperti bayi atau bayi yang bersuara seperti kucing? Hehe.

Bila saya bandingkan dengan Jogja, mencari makanan di dekat kampus di sini termasuk sulit. Harus berjalan jauh, itupun warungnya terpencil. Tak seperti Karangmalang, Samirono, ataupun kawasan Jln. Moses Gatotkaca yang radius 5 meter sekali ada warungnya. Kalau malam lebih parah lagi, karena di sini tak ada burjo (diberkatilah orang-orang Kuningan yang meramaikan Jogja). Malamnya, kami berempat sempat berembug untuk bikin mengajukan proposal PKM entrepreneurship dengan judul “Prospek Burjo di Jember”. Hehe.

Mas Aris dan Maruf (yang belakangan diketahui kondang dengan nama Iyop, logatnya Madura sekali, dan suspek homo) membawa kami ke warung nasi di seberang gedung PKM. Oya, satu lagi, saya belum menemukan warung prasmanan di sini (banyak peluang bisnis rupanya di Jember). Lagi-lagi lidah ini terkejut dengan masakan jawa timur yang asin dan bau udang. Tapi karena lapar, semua tandas dalam 5 menit (hyperbole mode: active).

#5
Mas Yandri dan Mas Kresna, Alun-alun Jember, 2010.
Nisrina, belum jadi PU.
Hari ini kami lewati dengan melawat ke ECPOSE (LPM-nya FE Univ. Jember) dan PRIMA (LPM-nya FISIP). Dari ECPOSE saya tahu bahwa majalah mereka tahun ini ganti format menjadi “majalah” (sebelum-sebelumnya “jurnal”). Lain lagi di PRIMA, kami sempat mengolok-ngoloh Harry (saya lupa tanya ejaan namanya, yah supaya tampak keren saya pilih tulis “Harry” saja. Peace!), Pimrednya yang jadi cover boy majalah mereka sendiri. Kelak, di malam terakhir kami di Jember, Harry terlibat affair dengan Nisrina di Rembangan (dataran tinggi di Jember).

Malamnya, Mas Kresna sampai di Tegalboto, setelah –ngakunya– plesir ke Bali. Dia naik bus dari Banyuwangi dan turun di Terminal Pakusari, Jember. Menuntaskan ngidam saya akan nasi bebek Surabaya yang tertunda, kami pun jalan-jalan cari nasi bebek. Benar-benar jalan-jalan, karena nasi bebek itu baru ketemu di alun-alun Jember (yang Masya Allah, indahnya), 2 km dari Tegalboto.

Pungkasan cerita, acara makan malam di alun-alun jember dan nasi bebek palsunya (bebek goreng dengan nasi? Bukan, bukan begini bayangan saya soal nasi bebek!) jadi memoar buruk saya hingga pulang ke Jogja. Sampai Tegalboto saya langsung rebah.

31 Januari 2010

Hari ini lewat dengan bermalas-malasan ria. Hingga sore hari kerja kami cuma tidur. Lalu sore hari, datanglah Mas Rosi yang legendanya sudah kami dengar sebagai maniak darah (ia punya koleksi lengkap foto-foto kecelakaan tragis, foto korban perang dunia, film horor berdarah-darah, dan sebangsanya. Kata Mas Dhani, orgasmenya Mas Rosi ya kalau melihat koleksinya itu. Wah, saya pikir ia bisa jadi duet maut bila bertemu Dian Dwi Anisa yang psikopat). Mas Rosi lalu memulai diskusi filsafat yang memang rutin di Tegalboto berjudul NGUPIL. Moderator Arys “si Berang-berang” membuka bahasan hari ini: David Hume dan empirisme-nya. Takdirkah? Entahlah, tapi niat utama saya ke jember sebenarnya adalah diskusi ini. Dan usai mendengarkan kuliah mengasyikkan ini, saya yang sudah terbius dengan ajaran empirisme mendapakan turning point hari ini. Setelah ngalor-ngidul soal hukum kausalitas Hume lalu meloncat ke topik aneh yang berkesimpulan “agama adalah komunitas” (haha), selesailah NGUPIL hari ini.

Malamnya, Tegalboto ramai sekali. Usai makan di perempatan kantor DPRD Jember (bakwan jagungnya yummy!), kami menerabas lampu merah tanpa helm, menanjak ke Rembangan. Mirip Kaliurang tahun 50-an, masih sepi dan berkabut. Namun pemandangan kota dari sini memang indah, seperti di Ketep. Kami tak naik terlalu jauh karena kata Mas Dhani daerah ini masih rawan begal .

Minum susu cokelat enak sambil mengupas satu per satu harga diri Mas Dhani yang memang sudah tipis, saya temukan paradoks lain: apa yang katanya Nietzche “pembalikan nilai” sungguh terjadi di Tegalboto. Bila menjadi homo di EKSPRESI berarti menjadi paria selamanya, maka di Tegalboto homo adalah kebanggaan ksatria. Pantas saja Devi, wanita normal yang terdampar di Tegalboto, frustasi hingga harus mengeluarkan jurus-jurus penakluk pria-pria dari LPM lain—sehingga ia dijuluki wanita serigala berhati rubah. Haha). Jam setengah 12 kami turun, saya ingin nonton Arsenal vs MU di Tegalboto (sial! Mereka langganan Tv kabel yang hanya 12 ribu per bulan! Sial sial sial!). Sayang, saya tak kenal Arsenal yang seperti dulu malam ini (pas sudah 0-3, saya pilih tidur).

1 Februari 2010

Dengan berlinangan air mata sambil melambaikan setangan merah jambu, para awak Tegalboto melepas kami di stasiun pukul 5 pagi. Bahkan Mbak Lila sampai memotong rambutnya dan menaruhnya dalam kantung sutra sebagai kenang-kenangan. Dan semua itu bohong.

Pukul 4.30 kami melaju ke stasiun. Saya boncengan dengan Iyop yang jadi baik karena sudah disuap janji akan dikenalkan pada Azwar Anastasia dan Herryati Akhmadi. Saya melihat Mas Dhani yang rambutnya dikuncir seperti Buddha dengan rasa bersalah: orang yang begitu baik, yang keinginan luhurnya untuk nonton Pure Saturday kandas karena kami datang ke jember. Maafkan kami! (sayang, segala amalannya itu segera sirna bila sudah adu komen di FB lagi. ya Tuhan, ternyata ada juga makhluk yang punya segudang kosakata makian seperti dia, komplit dari yang tradisional sampai bahasa ilmiah).

Dan Tour de java-est ini pelan-pelan selesai dengan merangkaknya Logawa Jember-Jogja selama 12 jam.[]

Addendum:

1. Hari kedua di Surabaya bapak saya dapat laporan dari budhe kalau saya di sana. Saya putuskan tak menceritakan apa yang terjadi kemudian untuk melindungi anak-anak (yang membaca catatan ini) dari paparan bacaan anarkisme yang bisa merusak masa kecil.

2. Nisrina akhirnya dapat jodoh di jember. Selain Mas Harry ada Mas Didik yang berhasil ia tipu juga. Bahkan di kereta pun ia berhasil menggaet tukang sapu ngapak bin sinting yang terobsesi pada andeng-andeng Nisrina. Astaghfirullah!)

3. Di kereta kami bertemu mahasiwa Teknik Industri UGM 2009 benama Jhennery yang asal Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Kasihan dia, jadi “korban” kami sejak Nganjuk sampai Jogja. Ia hanya bisa “he-he-he” dengan getir tanpa bisa melawan.

4. Semua anak Tegalboto itu HOMO!

5. Alun-alun Jember adalah alun-alun terbagus yang pernah saya lihat

6. Di Jember, rokok Bintang Buana ganti nama jadi Tali Jagat.

7. Saya taubatan nasuha tak akan makan Lontong Kupang lagi! iyek!

8. Saya menganggap Mas Yandri “stranger” selama di Jawa Timur karena ia mendadak berlogat Madura juga.

9. Tegalboto dikuasai anak-anak HI, seperti EKSPRESI dikuasai Sasindo (jaman dulu, besok Prancis siap invasi).

10. Tesis kami, Mas Zaki, admin Persma.com yang orang Lombok bernenek moyang orang Jawa yang kawin dengan orang Arab.

11. Permintaan paling tidak logis tahun ini: Islah minta oleh-oleh mug dari Madura! Asem, dia pikir Madura sentra keramik?! Saya belikan clurit saja akhirnya.

12. Slah, Slah, Mas Aris baik banget lho! (sambil mengedipkan sebelah mata).

13. Liburan mendatang: Jakarta (lagi), Karimun Jawa, Bali, Sandai—Kalimantan Barat, atau jadi panitia OSPEK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar