21 Februari 2010

Seribu Tahun Tak Lama

Dari laman Anonymous Art of Revolution

NENEK Minah, sungguh saya tak kenal.

Syahdan suatu malam di kamar kos, televisi tetangga kamar yang suaranya membahana hingga kamar saya menyiarkan berita Nenek Minah. Saya mendengarkan semata-mata karena kata Purwokerto terselip dalam penggalan berita malam itu. Sayup-sayup yang saya pahami, seorang perempuan bernama Minah dihukum penjara di Purwokerto. Ia diadili tanpa pengacara dan membacakan pembelaannya dalam bahasa Jawa.

Dua hari kemudian, status kawan-kawan di FB ramai bicara soal “nenek itu”. Penasaran, saya ketik “Nenek Minah” di google.

Akhirnya saya paham duduk permasalahannya setelah membaca beritanya.

"Penegak hukum memang harus punya prinsip kemanusiaan. Masa nenek-nenek begitu... hakimnya saja sampai menangis melihat nenek itu," kata Patrialis Akbar.

Demikian petikan berita yang saya baca. Saya langsung teringat catatan pinggir Gunawan Muhammad yang berjudul "Eumenides".

Bukannya hendak meremehkan seorang advokat cum menteri macam Patrialis, tapi kalau dalam hukum dipakai prinsip kemanusiaan, rasa-rasanya keadilan—yang jadi cita-cita hukum—makin jauh.

Makanya, ketika harus sampai membunuh ibunya yang juga pembunuh, Orestes bertanya pada sahabatnya, Pylades: “Apa yang kulakukan? Membunuh ibu sendiri, betapa mengerikan!”. Tapi atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya melakukan hal yang mengerikan itu juga.

Nenek Minah dihukum karena mencuri adalah sebuah keadilan –tanpa memandang dia tua dan buta huruf--, menurut saya. Hukumnya memang demikian.

Tapi kemudian yang membuat masyarakat miris dan marah, media menghujat lewat trial by press bahwa ini bentuk ketidakadilan dan tidak berperikemanusiaan, adalah, saat membandingkan kasus Nek minah dengan kasus lain. Tak usah jauh-jauh, yang masih hangat saja, yaitu bank kesayangan kita, Bank Century. Mari kita bandingkan Nenek Minah yang malang dengan robert tantular, yang mencuri uang 181,3 miliar rupiah (setara dengan gaji bapak saya selama 7500 tahun).

Perhitungan bodohnya begini. Tiga buah kakao, semisal satu buah seharga Rp 1000, tiga buah berarti Rp 3.000, dan Nek Minah dapat 1,5 bulan kurungan. Nah, robert menggelapkan uang Rp 181,3 miliar tapi “hanya” dibonusi 4 tahun penjara.

Kalau pakai standar Nek Minah berarti, mencuri seribu rupiah berhadiah setengah bulan penjara. Bila perbandingan ini dipakai buat menentukan hukuman buat robert, seharusnya dia dapat putusan dikurung selama 90.650.000 bulan, atau tujuh setengah juta tahun. “Seribu tahun tak lama, hanya sekejap saja,” demikian dendang Bob Tutopoly. Bagaimana kalau jutaan tahun? robert lebih tahu.

Saya tak hendak membela Nek Minah, seperti yang dilakukan yang lain. barangkali ia memang nenek yang menyebalkan dan suka ngutil. Tapi saya memilih untuk tidak menghormati robert dengan menulis namanya dengan huruf kecil. Tindakan paling riil yang paling dapat saya lakukan sekarang. Tahulah saya sekarang, mata Lady Justice tak lagi ditutup dengan setangan, melainkan pakai kacamata Rayban.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar