21 Februari 2010

Surabaya-Madura-Jember: Antara Bau Got, Nasi bebek, dan Homo #1

Yang di belakang Tin Tin dan yang di depan Snowy-nya :)
SAYA menulis catatan ini di malam pertama bulan kedua tahun 2010. Dalam keadaan yang lelah namun puas karena berhasil menuntaskan salah satu target tahun ini yang saya buat sebulan lalu: jalan-jalan ke Jawa Timur!

Lima hari yang lalu, bermodal dua lembar rupiah merah dan selembar biru, saya dan Nisrina memutuskan untuk menjajah Kota Pahlawan Surabaya. Bukan, bukan karena terinspirasi lagu jawa lama tentang Tanjung Perak yang kerap diputar bapak, tapi karena kami ingin berpetualang!

Saya tak tahu apakah Nisrina juga gandrung pada Enyd Blyton, tapi Si Blyton ini sudah membuat saya terinspirasi. Bahkan saya putuskan menentukan jalan hidup dengan kuliah di jurusan bahasa Prancis karenanya. (Saya ingin telusuri dunia dan menemukan caranya dari ceramah guru bahasa Prancis SMA: “kamu bisa jadi tour guide dengan bahasa Prancis dan bersiap-siaplah jalan-jalan gratis!).

27 Januari 2010

Jam setengah 10, kereta ekonomi Logawa menjemput kami di Stasiun Lempuyangan. Saya sudah hapal bau Logawa yang melayani rute Jember-Purwokerto. Jogja-Purwokerto saya sudah khatamkan, ini kali pertama saya cicipi rute sisanya, Jogja-Surabaya yang akan dilanjutkan dengan Surabaya-Jember.

Nisrina diantar bapaknya sementara saya bahkan tidak beri tahu sama sekali orang-orang rumah. Kami panjat kereta dan cari tempat duduk. Tumben, pikir saya, kami bisa duduk di Logawa yang ekonomi. Mungkin pertanda baik. Sambil memamerkan topi plesir yang saya beli di Mirota pada Nisrina, kami mulai perjalanan ini dengan senyum dan tak tidur sepanjang tujuh jam perjalanan.

Setengah lima kami hinggap di Stasiun Surabaya Gubeng. Sembari menunggu sepupu Nisrina yang akan menjemput, kami berdua ke musala. Nisrina salat sementara saya menatap Hanamasa –di seberang stasiun—dengan lidah terjulur. Sayang seribu sayang, legenda kelezatan Hanamasa kali ini tak bisa menyinggahi enzim-enzim dalam liur saya, karena hanya dua lembar merah seratus ribuan yang saya dan Nisrina pegang.

Ami, sepupu Nisrina, hitam dan gendut perawakannya, namun baik hati bukan buatan. Karena dia hanya bawa sepeda motor akhirnya saya dan Nisrina naik bemo len U menuju Indrojoyo. Dari Indrojoyo, kami boncengan salak tanpa helm ke rumah Ami. Dari Gubeng hingga Bulak Banteng—rumah Ami, terkuak sudah kebusukan Surabaya dalam makna harafiah. Kali hitam di tengah kota. Isinya hanya sampah dan berbau. Jalan semrawut dan kotor. Kendaraan ugal-ugalan apalagi waktu itu hujan, ah, buruk sudah stigma pertama saya akan Surabaia.

Bulak Banteng saya perkirakan adalah pemukiman kumuh, karena ada tempat pembuangan akhir di sana. Juga amis karena dekat Tanjung Perak. Tapi saya tak menyesal menginap semalam di rumah Ami di sana, karena Suramadu yang kondang hanya sepelemparan batu (yang dilontarkan oleh Hercules). Dekat![]

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar