21 Februari 2010

Orang Terkenal Selalu Benar

“SHEILA Marcia jadi ikon antiaborsi,” demikian kepala berita yang saya baca.

“Salah satu rumah sakit di bilangan Jakarta, yang peduli pada bidang kebidanan, menunjuk Sheila untuk menjadi ikon anti aborsi. Proses terpilihnya Sheila tersebut sudah terjadi sejak beberapa bulan terakhir,” lanjut berita tersebut.

Karena kedapatan berpesta narkoba dengan teman-temannyadi kondominium Pluit pada 7 Agustus tahun lalu, Sheila “diamankan” polisi. Sebagai selebritis yang sedang cemerlang (ketika ditangkap 3 iklan yang ia bintangi sedang sering-seringnya diputar, belum sinetron dan filmnya. Duet dengan Ipang BIP pun pernah dilakoninya), Sheila langsung jadi sorotan umum. Saya ingat betul, sebuah tabloid wanita yang terkenal di kalangan ibu-ibu sampai menjadikannya foto sampul beberapa edisi berturut-turut.

Senyum saya cukup seulas walau hati ini rasanya mau meledak karena geli. Ada-ada saja polah “rumah sakit yang peduli bidang kebidanan” itu sampai-sampai harus berbuat bodoh begini; menjadikan wanita yang hamil di luar nikah sebagai teladan bagi orang lain. Hakkul yakin, “rumah sakit yang peduli bidang kebidanan” itu cuma mau cari popularitas, lainnya tidak.

Bahkan anak SD pun pasti tahu kalau Sheila jelas salah. Bukan, bukan salah karena memakai narkoba, tapi salah karena sampai ketahuan polisi (ia sedang sial mungkin). Ditangkap, lepas, lalu masuk lagi karena pembebasan bersyaratnya dicabut pada 6 September 2009.

Keluar dari penjara, Sheila sempat jadi pembicara soal bahaya narkoba di gereja-gereja. Karena itu, ia dipuji-puji di infotainment karena dianggap telah melakukan revolusi dalam hidupnya. Sosok yang patut dicontoh karena berusaha mengubah diri jadi lebih baik. Mendadak, perilaku negatifnya kemarin-kemarin dibenarkan. Citra Sheila dikemas sebagai orang sesat yang telah kembali ke jalan Tuhan. Saya skeptik kalau ia utuh berubah macam itu. Halah, mung nang tivi thok!

Nah, benar kan! Sorak saya. Sheila digiring ke hotel prodeo lagi. Kali ini bawa bekal berupa segumpal daging dan darah dalam perut yang tak (ia) jelas(kan) asalnya.

Entah jimat apa yang Sheila pakai, sampai hamil di luar nikah pun jadi terpuji. Masa hanya karena ia tidak mau menggugurkan bayinya ia langsung jadi sesorang yang patut dicontoh? Oke, oke, yah mungkin ia patut dicontoh untuk tindakan heroiknya itu. Tapi bagaimana kalau pesan yang sampai ke masyarakatnya adalah Sheila Marcia sebagai sosok yang hamil di luar nikah, bukan wanita yang gagah berani? aduh, Departemen Agama bisa repot dan kolaps karena tidak ada pemasukan dari KUA lagi.

Dua kali Sheila ketahuan berperilaku negatif dan semuanya dikemas dengan rapi menjadi sebuah “kekeliruan yang lumrah terjadi dalam hidup”. Kalau itu karena ia seorang yang tekenal yang semua bagian hidupnya jadi konsumsi umum sehingga harus mencontohkan segala yang baik, rasanya bukan begitu caranya. Masyarakatlah yang harus dilatih untuk maklum bahwa artis juga manusia, yang bisa khilaf, alih-alih merekayasa keadaan yang lebih bikin muak daripada respek.

Saya ingat kata sesorang yang saya yakini bijak. Kurang lebih begini: orang Indonesia tuh cuma ngeliat bungkusnya, bukan isi, kalau kita nasehatin orang dengan kata-kata yang bernas tapi pake suara keras, ya suara keras itu yang diperhatikan.

Jadi, kalau suatu ketika di masa depan seks bebas masuk kategori perilaku asketis, yah jangan kaget ajalah.[]

NB:

Tentu, sudut pandang yang saya pakai untuk menghakimi Sheila di sini adalah sudut pandang agama Islam dan Kristen (selain agama ini, saya kurang mengerti). Juga norma, hukum agama, dan undang-undang dasar, hingga dasar Negara turut mendukung argumen saya. Maka, jangan bawa-bawa Prancis dengan cohabitationnya atau kepercayaan-kepercayaan sekuler cum profan untuk menelan tulisan ini. He-he-he.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar