21 Februari 2010

Surabaya-Madura-Jember: Antara Bau Got, Nasi bebek, dan Homo #2-3

Pakai udeng.
#2

MALAMNYA, usai dilayani dengan keramahan orang-orang Madura di rumah Ami, saya dan Nisrina berusaha untuk tidur. Asem! Kami bolak-balik bangun karena nyamuknya seganas anak-anak EKSPRESI kalau melihat makanan. Tesis Nisrina, ini akibat got depan rumah yang menggenang dan kotor. Sepupu saya, Tyo, bilang, seperti kali di tengah Surabaya, airnya tidak bergerak karena kontur daerah yang rata. Makanya limbah dan sampah di air yang tenang jadi bau yang dahsyat.

Karena baru bisa tidur dini hari, saya baru bangun pukul 7. Malunya, karena adat orang timur menganggap tamu yang demikian adalah tidak sopan. Mana ketika saya bangun, di meja kamar sudah ada teh manis dan bolu kukus lagi! Kata Nisrina (yang sialnya bangun lebih dulu), budhenya sempat mengira saya Kristen karena tidak bangun pagi untuk salat. Padahal tak melulu begitu.

28 Januari 2010

Ami akhirnya memilih bolos kuliah karena kami merengek minta diantar melintasi Suramadu. Dengan dua motor, saya berboncengan dengan Nisrina, Ami dengan temannya, kami bergulir menuju jembatan mahsyur itu. Nor Islafatun saya bikin keki habis dengan sms jumawa saya akan melintasi jembatan terpanjang di Asia Tenggara.

Dengan tiga ribu perak, kami akhirnya berada di atas jembatan itu. Sayang, jalur untuk kendaraan roda dua terlalu kecil, sampai-sampai saya terserempet motor. Analisis seorang teman, itu supaya motor berjalan pelan, mengingat angin Selat Madura yang melintangi jembatan lumayan kencang. 5,5 km panjang Suramadu, dan kamipun menjejakkan kaki di pulau Madura yang gersang

Bukti bahwa sudah sampai Madura.
Dulu, saat kelas 1 SD, saya sebangku dengan anak Madura, Halilah namanya. Ketika itu konflik Sambas belum pecah, jadi kami adem ayem saja (di kelas mayoritas orang Dayak). Ibunya punya los sayur di pasar. Sayang, kelas dua ia pindah. Kata seorang teman, ia pernah bertemu Halilah sedang bersama kakaknya jadi suakang (kuli pikul) pelabuhan di Ketapang, Kalimantan Barat. Mencium Madura membuat saya ingat padanya.

Sempat sedih dan miris ketika mau beli oleh-oleh khas Madura. Kios-kios kanan-kiri jalan lepas dari Suramadu sepi pembeli. Udara panas dan kami menawar. Maaf Pak, dalam hati saya, pemikiran kiri saya ketika di kampus tak bisa dipraktikkan sekarang, bekal kami pas-pasan! (Bohong sebenarnya, toh esoknya saya belanja gila-gilaan di Royal Plaza Surabaya).

Sebentar saja mampir di Madura-nya. Kami nyebrang laut lagi. Tapi tak langsung pulang ke rumah, Ami mengajak kami jajan di pinggir laut. Sebagai hamba sebuah Tuhan ynag bernama “penasaran”, saya coba pesan Lontong Kupang di sebuah warung gedhek. Nisrina sediri memilih Rujak Cingur yang cingurnya semula kami kira adalah lidah—tenyata hidung sapi! Sama-sama kaget, saya dan Nisrina enek sendiri dengan makanan terkenal di Jawa Timur itu. Ih! (sampai di Jember kami dihina oleh orang Bondowoso berjudul Arman Dhani Bustomi yang mengatakan itu makanan surga. Ah, peduli amat!)

Menjelang sore, kami berpamitan pada Ami dan keluarga untuk mulai berkelana mencari alamat budhe saya di Rungkut (berbekal taklimat via sms). Kami naik bemo F sampai terminal Joyoboyo yang jadi sentra semua angkutan di Surabaya. Dari terminal Joyoboyo, ganti bemo .. ehm…bemo apa ya? Duh, saya lupa. Haha. Ya pokoknya itulah. Dan kami pun turun di Jalan Rungkut Tengah. Lanjut naik becak, akhirnya ditemukan juga perumahan Rungkut Menanggal Harapan. Benar kata budhe saya, supir bemo (dan becak) di Surabaya ra bakal mbalasukke. Meskipun intonasi mereka tinggi, suka memaki, dan benci ditanya-tanya (maklum, Madura), mereka baik (tak seperti di Jakarta! Saya dendam, dendam Pada Jakarta dan orang cueknya!).

Malamnya, kami bertualang lagi mencari rumah bulik Nisrina (astaga, kami seperti safari famili) di Wonorejo Selatan. Untungnya kali ini diantar Tyo yang saya paksa meskipun baru balik dari kampusnya di ITS. Nyasar sedikit, dan tralala, ketemu alamatnya! Dan malam ini tamat dengan saya yang (lagi-lagi) tak bisa tidur (insomnia katrok karena tak biasa tidur di kamar ber-AC).

#3

29 Januari 2010

Hingga siang saya hanya luntang-luntung di rumah. Diselingi wejangan dari pakdhe dan budhe saya agar jadi manusia yang berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, dan agama; mengganggu sepupu saya Cahyo yang belum sembuh habis disunat; dan diganggu sepupu saya, Anin, yang lucu tapi sadis. Pas waktu Dhuha, Nisrina datang. Kami pun berpamitan pada budhe hendak menyambangi Tunjungan Plaza yang kondang (dan kami tidak tahu ternyata ada 3 Tunjungan Plaza!). Jalan kaki sampai perempatan Yakaya, kami asal setop angkot. Tak heran kami sampai di sebuah negeri antah berantah yang saya lupa namanya. Ketika bilang pada supirnya bahwa kami mau ke TP, dia malah dimarahai rekannya sesama supir karena dianggap asal angkut. “Mboten pak, kulo ingkang mboten taken,” saya sok menengahi dengan bahasa Jawa yang jelas salah tempat.

Dengan segenap perjuangan dan supir yang sedikit nakal (kami bayar lebih mahal Rp 500 dari tarif standar), kami pilih ke Royal Plaza saja. Lebih dekat. Dalamnya tak begitu jauh berbeda dengan Saphir Square di Jogja, cuma lebih besar. Cuma sebentar namun belanja banyak, kami pun pulang, kali ini sudah lebih lihai memilih bemo. Tak nyasar lagi.

Di rumah budhe saya jumpai logat Surabaya yang menurut saya “normal”. Tapi di rumah Ami, di terminal, bahkan mbak-mbak yang saya tanyai di bemo, semua berlogat Madura. Asing dan lucu bagi audio saya, mungkin bisa diterminologikan seperti orang wetan mendengar bahasa Banyumas. Rasanya, ada Madura di mana-mana!

Sorenya, jam tiga, kami berangkat dari rumah budhe menuju Stasiun Wonokromo hendak mencegat Logawa dari Mojokerto. Niatnya mau berangkat lebih awal tapi apa daya hujan mencekal. Naik becak, kami deg-degan mengejar bemo…(yang lagi-lagi saya lupa lennya). Logawa akan melewati Wonokromo pukul empat, namun hingga pukul setengah empat kami masih mendekam dalam bemo. Saya dan Nisrina sudah berniat akan naik taksi ke Gubeng bila ketinggalan di Wonokromo (dari Gubeng kereta akan ganti posisi lokomotif, agak lama, baru berangkat jam 5). Tapi Tuhan memang Arrahman nirrahim, budhe saya menelepon bahwa jangan buru-buru karena dari Gubeng, Logawa akan balik ke Wonokromo lagi, menuju Jember! (kenyataan ini sesungguhnya sudah kami ketahui, tapi karena panik, kami lupa sama sekali). Puji tuhan, kami tiba pukul empat di Wonokromo dengan hati damai.

Pukul 5 lebih seperempat akhirnya kami bertemu dengan kepala sekolah kami di EKSPRESI yang berangkat dari Jogja. Kami memang sudah janjian untuk pethukan di kereta, dan akan menyusul pula Mas Kresna besok sore dari Banyuwangi. Total kami berempat akan ekspansi ke Jember![]

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar