21 Februari 2010

Menemukan yang "Tulus" di Facebook

Enggak ada hubungannya dengan konten di bawah, tapi lucu sih. Hehehe.  (Sumber)
SEMAKIN lama arena facebook semakin pikuk. 350 juta manusia berjejal dalam akun-akun maya. Saling berlomba mencari perhatian dan mencipakan impresi.

Bagi (sebagian) orang yang menemukan kepuasan atas peralihan dari keterbatasan dunia nyata, banyak bagian dari facebook yang bisa menghadirkan kesenangan. Kebanyakan (ini perasaan saya sih) dari kesenangan itu hadir dari publikasi, terutama status, catatan, dan foto.

Tak ada salahnya menjadi narsis (sampai saat itulah kata yang jadi konsensus kita untuk mengidentifikasi keinginan dan kegiatan “pamer-diri”, meskipun syahibul hikayat narsis adalah Narcissus yang gemar memerhatikan bayangan dirinya di permukaan air sehingga ia dikutuk jadi bunga daffodil. Mungkin lebih tepat kita sebut ekshibisi yang terjemahan harafiahnya “menunjukkan”). Narsis alias ekshibisi adalah id yang bisa mengakibakan kematian mental bila ditunda. Saya pernah terkekeh gara-gara seseorang menghujat habitus narsis/ekhibisi di FB dalam statusnya, saya pikir, dengan menulis itu dalam statusnya, di pun telah jadi ekshibisi (akan pemikirannya).

Siapa yang hatinya tak bungah ketika banyak yang mengomentari ataupun mengacungkan jempol untuk karya-karya kita (status, catatan). Pun ketika usaha menarik pehatian cum pujian lewat foto-foto apik berhasil .

Kenapa kita senang bila ada yang komen?

Karena itu tandanya mereka memerhatikan kita!

Kenapa kita senang bila ada yang acung-jempol (untung tak ada acung-jari tengah)?

Karena itu tandanya mereka setuju dengan pemikiran kita!

Kenapa kita senang bila ada yang memuji foto kita?

Itu karena di dunia nyata, wajah kita sungguh tak menarik (ini bukan curhat, hehe)!

Wow, rupanya kita haus akan afeksi. Perhatian. (bila dibuat alur silogisme, saya sudah membuat koklusi bahwa narsis/ekhibisi bertujuan untuk mendapatkan perhatian).

Namun, saya terkadang skeptis akan perhatian teman-teman FB yang komen dan main acung, perihal niat mereka. Apakah mereka sungguh-sungguh perhatian atau hanya menciptakan kesan “perhatian”? lebih bahaya lagi, upaya-upaya itu cuma untuk mendapatkan timbal-balik, agar orang lain memerhatikan aktivitas FB nya juga. Waduh.

Saya, qualitate quo rakyat facebook kebanyakan, pun punya rasa yang sama. Senang tentu bukan buatan ketika ada yang perhatian. Saya juga intens berusaha mencari perhatian. Namun, kebahagiaan tertinggi saya dapat lewat catatan orang lain.

Saya lupa kapan mulai memerhatikan ini, namun ketika Nor Islafatun membuat dua catatan yang didalamnya nama saya termaktub, aih, bahagianya. Juga ketika membuka catatan seseorang yang menandai saya, hal pertama yang saya lakukan ketika membuka catatannya adalah: memeriksa di urutan berapakah nama saya ditandai (dari sekian orang).

Nor Islafatun memang satu-satunya yang sudi menorehkan nama saya dalam tulisannya. Namun, ada beberapa orang yang menandai saya di urut pertama catatan mereka. Orang-orang itu saya catat dalam kepala saya dengan hati-hati, dan saya tahbiskan dengan khidmat sebagai entitas yang benar-benar tulus punya afeksi pada saya.

Sedikit bodoh memang usaha saya mencari-cari kesenangan yang di “sela-sela kayu” ini. Namun, asumsi ad interim saya, di tengah kegiatan menandai orang dalam catatan, bisa ditemukan sepercik ketulusan. Bahwa ada yang lebih besar dari sekedar afeksi. Bahwa seseorang tanpa sadar menempatkanmu “lebih” daripada orang lain dalam memorinya.

Suatu sore Mas Petrik bertanya pada saya. “Cik, kamu suka nggak kalo dikasih hadiah tulisan?”, saya lupa tepatnya jawab apa, tapi tulisan adalah kado terbaik menurut saya, “soalnya akan abadi, Mas”. Dan soal tanda-menandai, itu adalah terbaik setingkat di bawahnya.[]

Addendum:

1. Tesis ini tidak berlaku untuk penandaan yang bersifat urut ajad. Misal bila penulis tampak menandai urut dari A sampai Z.

2. Ketika menuliskan wacana bahwa “mereka”, “seseorang” ataupun “kebanyakan” dalam suatu “identifikasi subyektif” (baca: narsis/ekshibisi), suatu perasaan kuat dalam diri muncul untuk mengalienasi diri saya dari penggolongan tersebut (saya tak narsis, saya berbeda). Seakan narsis adalah dosa, dan termasuk di dalamnya adalah siksa. Namun, di akhir tulisan saya terhempas akan kenyataan: dengan menulis dan mempublikasikan ini, bahkan menggunakan kata “SAYA” saya sudah teramat narsis. Sebuah metonoia yang terlambat,tapi tak apa ‘kan kawan, toh saya sudah bilang narsis itu id.

3. Usai membaca ini, yang pernah menandai saya di urutan pertama, mohon jangan malu dan jangan kapok. Hehe.

Revisi:

a. Kalau dikaji strukturnya, saya banyak melakukan kesalahan dengan memosisikan "narsis" dan "ekshibisi" sebagai verba. Mereka itu nomina. Hehe. Ini dampak sistemik dari salah kaprah di kehidupan sehari-hari yang sudah jadi kebiasaan. Maaf...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar