21 Februari 2010

SD N 07 Sandai


KAMI lama berlatih, senang, tapi tak sesenang Topan. Apakah ia punya obsesi menjadi penyanyi? pikir saya dulu—dan ternyata memang demikian, bocoran saja, ia mau ikut audisi Indonesian Idol 2010, hehe. Kami lama berlatih paduan suara untuk pesta perpisahan kami, siswa kelas 6 SD Negeri 7 Sandai.

"Rasa" saat itu masih berbekas hingga kini. Bangganya dapat piala dari sekolah (what the hell! Murid teladan gitu loh, hal yang tak mungkin saya raih lagi seumur hidup), teman-teman yang bikin saya malas pulang sekolah dan benci hari minggu, dan guru yang kocaknya setengah mati. Oh, saya ingin kembali ke sekolah dasar.

Goodbye, I see you goodbye..

Potongan lagu yang kami nyanyikan saat itu membuat kami termehek-mehek. Menangis? Saya lupa ikut menangis atau tidak, yang jelas hati saya tak karuan saat itu. Hati ini sempat marah juga pada si Dogan Febri yang hilang tanpa pamit dan tak hadir saat perpisahan. Kalau ketemu saya getok gundulnya itu! Kesah saya, tapi 7 tahun kemudian tak saya lakukan.

Bau tanah yang basah sehingga sepatu kami tak pernah bersih seperti anak kota. Kelas kami yang masih baru sehingga demikian disayang. Saban pagi dipel dan disapu, bahkan masuk ke dalamnya harus copot sepatu. Sekolah paling aneh sedunia karena kami berangkat dengan baju olahraga di hari yang ada pelajaran olahraganya (bukannya pakai seragam lalu diganti baju olahraga saat pelajaran olahraga).

Mengenang masa SD adalah kebanggaan tersendiri. Dulu saya tak pernah sadar, ternyata kami anak-anak di pedalaman Kalimantan Barat adalah anak-anak yang tangguh. Tak pernah saya jumpai di Jawa seorang siswa sekolah dasar inisiatif jualan permen karet di sekolah sekedar menambah uang jajan. Ada yang berjualan kroket tiap istirahat di emper kelas, bahkan bantu ibunya menitipkan jajanan di sekolah. Aduh, ingat ini emosi saya meluap, ingin menangis rasanya.

SD adalah satu-satunya momen dimana saya jadi diri sendiri. Kini tidak. Yang saya pedulikan hanyalah nilai pelajaran dan kasti, tak ada pacar, tak ada film terbaru atau mode terkini. Bebas!

Mungkin karena begitu banyaknya yang ingin ditulis, tulisan ini jad berantakan begini. Tapi biarlah, biarkan sekali ini saya tak peduli struktur tulisan. Ini nostalgia, kawan!

Suatu hari saya (yang tak tahu malu memaksa anak lelaki mengijinkan saya main bola) dan Pebi memberi nama bukit di belakang gawang kami. Bukit itu tampak seperti punggung gajah, bukit gajah kata kami, mungkin Pebi sudah lupa.

Kami pernah sedih bersama-sama saat ayah Moses meninggal atau rumah Ngi-Ngi terbakar. Dan siapa yang mengira kalau kami—saya—akhirnya berbaikan setelah 6 tahun berselisih dengan Erik, padahal dulu sudah bersumpah seumur hidup tak akan baikan (ah, tak baik dikenang, tapi jujur, cerita marahan 6 tahun itu kini saya kenang sambil tertawa).

Dan siapa pula bisa menebak kalau kawan kita Veronica yang imut itu kini sudah menikah, pun Amik mendahului Moses untuk berumahtangga (mereka masih ingat ketika kirim-kiriman bunga mawar dulu nggak ya? haha), juga Acheng. Atau mungkin Butet yang tak mau dipanggil Butet lagi sekarang, yang katanya sempat dekat dengan Anton. Dengar kabar dari jauh, sungguh, ngakak setengah mati saya. banyak berubah kita rupanya.

Sekarang saya kangen bau sandai, sungai pawan, nasi kuning Bu Sal, dan sepeda Tiger Lipis. Note inilah pengobatnya.[]

1 komentar: